Sabtu, 03 Maret 2012

SEPULUH GELAR BUDDHA

  1. Buddha : Artinya orang yang telah mencapai tingkat kesadaran sempurna, yakni memiliki prajna (kebijaksanaan) yang sangat agung dan mencakup hakekat kehidupan jiwa dan alam semesta raya.
  2. Tathagata (Nyorai) : Tatha (Nyo) berarti waktu sekejap-sekejap, Gata (Rai) berarti datang. Maksudnya, gerakan jiwa Buddha itu sekejap-sekejap bersatu padu dengan jiwa alam semesta. Dengan kata lain istilah ini juga berarti seorang Buddha telah menyadari jiwa kekal abadi.
  3. Sammyaksambuddha (Syohenci) : Artinya prajna Sang Buddha menerangi seluruh umat manusia secara adil dan merata. Dalam arti yang lebih luas berarti prajna Sang Buddha mencakup seluruh alam semesta.
  4. Purusadamyasaranthi (Jogojobu) : Artinya Sang buddha memiliki kekuatan yang amat besar untuk mengendalikan dan memina seluruh umat manusia maupun mahluk hidup. Pengendalian dan pembinaan yang dimaksud disini bukan saja ditujukan kepada mahluk lain, tetapi juga untuk mengendalikan sifat iblis yang terdapat dalam jiwa diri sendiri. 
  5. Sugata (Zensei) : Su (Zen) berarti baik, Gata (Sei) berarti pergi. Jadi secara harafiah istilah ini berarti pergi ke tempat yang baik. Maksudnya, memutuskan segala hawa nafsu dan mencapai suasana jiwa kesadaran Buddha. Dalam hal ini sebenarnya bukan memutuskan hawa nafsu melainkan merubah atau meningkatkan mutunya agar berguna dalam usaha membahagiakan orang lain.
  6. Vidyacaranasampanna (Myogyosoku) : Artinya Sang Buddha mempunyai prajna yang sanggup melihat jelas ketiga masa yaitu : masa lampau, masa sekarang dan masa akan datang. Prajna Sang Buddha ini akan semakin bertambah kecemerlangannya dalam pelaksanaan penyelamatan umat manusia di tengah masyarakat, dan prajna ini tidak terbatas pada bidang rohaniah saja, melainkan mencakup segala bidang kehidupan manusia seperti : sosial, budaya, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, penndidikan dan sebagainya.
  7. Lokavid (Sekenge) : Secara harfiah istilah ini berarti mengenal masyarakat. Sebagaimana telah diuraikan diatas, Sang Buddha bukan saja mengenal filsafat yang mendalam tentang hakekat kehidupan alam semesta dan jiwa, tetapi juga mengetahui dan memahami segala persoalan yang ada dalam masyarakat. Beliau sanggup memberi jawaban yang paling tepat atas segala masalah yang ada dalam masyarakat dan beliau sendiri sanggup mengamalkan petunjuk-petunjuk yang diberikannya. Itulah sebabnya Sang Buddha adalah orang yang paling mengenal masyarakat.
  8. Sastadevanammanusyanam (Tenninsyi) : Secara harfiah istilah ini berarti guru dari dewa dan manusia. Maksudnya Sang Buddha adalah seorang manusia yang dapat membimbing segala lapisan masyarakat, dari para pimpinan negara hingga rakyat jelata. Tetapi ini bukan berarti Sang Buddha memaksa orang-orang untuk menjadi pengikutnya, melainkan kepribadian dan kemampuan Sang Buddha dengan sendirinya menimbulkan rasa segan dan simpati pada setiap orang.
  9. Arhat (Ogu) : Secara harfiah beratri orang yang memenuhi syarat untuk menerima sumbangan dari orang-orang yang berada dalam Dunia Surga dan Dunia Manusia. Yang dimaksud dengan memenuhi syarat disini adalah perilaku Sang Buddha dengan sendirinya mendapat dukungan dan simpati setiap orang.
  10. Lokanathati (Seson) : Artinya orang yang paling dihormati di dunia ini. Sang Buddha memiliki Maitri Karuna (welas asih) yang amat luhur serta kekuatan untuk menyelamatkan seluruh umat manusia, maka dengan sendirinya beliau dicintai dan disegani oleh seluruh umat manusia.
10 PERUMPAMAAN TENTANG KEUNGGULAN SADDHARMA-PUNDARIKA SUTRA

Pertama dikatakan, "Seandainya di antara saluran air, sungai, dan lainnya, maka lautan lah yang paling luas. Demikian juga, diantara seluruh sutra, Saddharma-pundarika sutra adalah sutra yang paling agung dan mendalam."

Kedua, "Diantara seluruh pegunungan, gunung Sumeru adalah yang tertinggi. Demikian juga di antara seluruh sutra, Saddharma-pundarika sutra adalah sutra yang tertinggi."

Ketiga, "Di antara semua bintang-bintang yang jumlahnya sedemikian banyak, rembulan sajalah yang bersinar paling megah. Demikian juga diantara seluruh sutra, Saddharma-pundarika sutra inilah yang paling cemerlang." 

Keempat, " Sinar sang surya dapat menyinari seluruh kegelapan, demikian juga Saddharma-pundarika sutra mampu menyingkirkan segala keberukan."

Kelima, ""Di antara seluruh raja kecil, maka Raja Pemutar Roda Suci adalah yangg teragung. Demikian juga di antara seluruh sutra, Saddharma -pundarika sutra adalah sutra yang termulia."

Keenam, " Di antara dewa dari 33 Surga, Sang Sakra adalah yang maha mulia. Demikian juga dengan Saddharmapundarika-sutra, adalah raja di antara seluruh sutra."

Ketujuh, ""Raja Surga Brahma Sahampati merupakan Bapak dari mereka yang masih berada dalam asuhan maupun yang tidak. Demikian juga Saddharma-pundarika sutra merupakan Bapak dari mereka yang berjiwa Boddhisattva."


Kedelapan, "Di antara orang awam, Srotapana, Sakradagamin, Anagamin dan Arahat, maka Pratekyabuddha lah yang paling terkemuka. Begitu juga dengan Saddharma-pundarika sutra adalah yang terunggul di antara seluruh sutra."

Kesembilan, "Di antara seluruh Sravaka dan Pratekyabuddha, maka Boddhisattva adalah yang paling terkemuka.Demikian juga dengan Saddharma-pundarika sutra merupakan yang paling terkemuka di antara sutra lainnya."

Kesepuluh, "Seperti Buddha yang merajai seluruh Hukum, demikian juga dengan Saddharma-pundarika sutra , merupakan raja dari seluruh sutra lainnya."

(Bab Bhaisyajaraja- Saddharma-pundarika sutra)


12 Gambaran Perbandingan tentang Karunia Manfaat yang dimiliki Saddharma-pundarika sutra.


Pertama, "Seperti kolam yang jernih dan sejuk yang mampu memuaskan dahaga seluruh umat manusia." Kedua, " Seperti orang kedinginan yang mendapatkan perapian." Ketiga, " Seperti orang telanjang yang mendapat pakaian." Keempat, " Seperti rombongan pedagang yang yang mendapatkan pimpinan." Kelima, " Seperti seorang anak yang bertemu ibunya." Keenam, " Seperti seseorang yang ingin menyeberang mendapatkan perahu." Ketujuh, "Seperti orang sakit yang bisa bertemu tabib." Kedelapan, " Seperti orang miskin yang menemukan permata." Kesembilan, " Seperti orang dalam kegelapan mendapatkan pelita." Kesepuluh, "Seperti rakyat yang memiliki raja." Kesebelas, " Seperti pedagang pengadu untung yang mendapatkan kesempatan." Keduabelas, " Seperti obor yang dapat menyirnakan kegelapan."  

(Bab Bhaisyajaraja-Saddharmapundarika-sutra)


Kamis, 23 Februari 2012

TRANSLATOR'S INTRODUCTION AND NOTE OF THE LOTUS SUTRA.

The Lotus Sutra is one of the most important and influental of all the sutras or sacred scriptures of Mahayana Buddhism, revered by almost all branches of the Mahayana teachings, and over many centuries the object of intense veneration among Buddhist believers throughout China, Korea, Japan, and other regions of eastern Asia.

We do not know where or when the Lotus Sutra was composed, or in what language. Probably it was initially formulated in some local dialect of India or Central Asia and then later put into Sanskrit to lend it greater respectability. All we can say for certain about the date of its composition is that it was already in existence by 255 CE, when the first Chinese translation of it was made. It was translated into Chinese several times subsequently, but it is through the version done in 406 by the Central Asian scholar-monk Kumarajiva that is has become widely known and read in China and the other countries within the Chinese cultural sphere of influence.This version has been universally acknowledged as the most authoritative and felicitious in language, and from this version that present English translation has been made.

In recent years several Sanskrit texts of the Lotus Sutra, titled in Sanskrit Saddharma-pundarika sutra or "The Sutra of the Lotus of the Wonderful Law," have been discovered in Nepal, Central Asia and Kashmir. Some appear to have been copied in the eleventh century or later, though some may have been copied as early as the fifth or sixth century. These Sanskrit version of the work differ considerably in places from the Kumarajiva translation, being often more verbose in expression, which suggests that the next Kumarajiva followed was earlier in date, and may in fact have been quite close to the original version.

KUMARAJIVA

Why, one may also ask , if the Lotus Sutra is a work of Indian Buddhism, has the translation been made from the Kumarajiva Chinese translation of the text rather than from one of the Sanskrit version? First, as already mentioned, though we do not know what language the Lotus Sutra was first composed in, it was very probably not Sanskrit, and therefore the Sanskrit versions of the text are already one step removed from the original. Second, none of the extant Sanskrit versions are as early in date as Kumarajiva's Chinese translation, done in 406, and all differ in some respects from his version. Thus his almost certainly represents an earlier version of the text, one nearer to the original. But most important of all, Kumarajiva's Chinese translation is the version in which the Lotus Sutra has been known and read over the centuries throughout the countries of eastern Asia. Buddhism died out in India long ago and the Sanskrit versions of the text were lost for many hundred years, only coming to light again in recent times. Today no one but a handful of scholars read the Lotus Sutra in its Sanskrit versions, whereas Kumarajiva's text is read and recited daily millions of priests and lay believers of East Asia. It is the language and imagery of the Chinese Lotus Sutra that has molded the  religious life and thought of the peoples of that part of the world and made its way into their art and literature. So it seemed wholly justifiable to make the English translation from this still living and vital version of the scripture.

For readers not familiar with the remarkable story of Kumarajiva's life, it may be mentioned here that he lived from 344 to 413 and was a native of the smallstate of Kucha in Central Asia. His father was an Indian of distinguished family who later in life became a Buddhist monk. His mother was a younger sister of the ruler of Kucha. He entered the Buddhist Order as a boy, and with his mother, who had become a nun, traveled extensively around India, acquiring a profound knowledge of Buddhist texts and teachings. Returning to Kucha, he devoted himself there to the propagation of Mahayana Buddhism.

In time his fame as a Buddhist scholar reached China. The Chinese ruler, eager to have so distinguished a religious figure at his own court, dispatched one of his generals to invade  Kucha and bring Kumarajiva to the Chinese capital at Ch'ang-an. Because of a change in the ruling dynasty, Kumarajiva was detained for a number of years in Liang-chou in Kansu, but finally reached Ch'ang-an in 401. There, with the support of the ruler, he immediately embarked on a strenuous traanslation program, producing in rapid succession a series of authoritative Chinese versions of important Buddhist sutras and treatises, thirty-five works in all, among them the Lotus Sutra. He was greatly aided in his work by a large body of Chinese disciples and scholar-monks who carefully checked his translations against earlier versions, discussed the meaning with him, and helped him to polish the wording of his own versions. This is no doubt one reason why Kumarajiva's translation of the Lotus Sutra is so superior to other Chinese translations and why it has been so widely and enthusiastically read.


A word may be said here as to the sort of problems in interpretation that arose. Classical Chinese, the language of the Kumarajiva Lotus, is highly sphere and compressed in style, and hence often ambiguous in meaning or construction and open to varying interpretations. Thus, for example, it is easy to tell where a passage of direct speech begins, but often difficult to determine exactly where it ends. Verbs, frequently lack an expressed subject, and a quite legitimate case can be made for several different interpretations of the passage. One must often guess at the tense of a verb, or whether a noun is to be taken as singular or plural. 

Because of such recurring problems and ambiguities, no two translations of the Chinese will ever come up with exactly identical renderings of the text. This does not mean in most cases that one translator is wrong and the other right, but simply that they have made different choices of interpretation. In the present translation I have tried to render the  text in the way that it has traditionally been understood in China and Japan. That is why I have carefully taken into consideration the Japanese yomikudashi reading in the edition cited above, which rearranges the Chinese characters of the text so that they conform to the patterns of Japanese syntax. This reading is based on the interpretation of the text followed by Nichiren (1222-1282), the founder of Nichiren Buddhism in Japan, who throughout his life constantly lectured on the Lotus Sutra to his disciples and lay followers and gave detailed expositions of its teachings. His interpretation is in turn based on the commentaries on the Lotus Sutra by the great scholar of Chinese Buddhism, Chih-i (538-597), the founder of the T'ien-t'ai school.


It may be noted here that Chih-i in his commentaries on the Lotus Sutra developed an extremely complex and sophisticated hermeneutical system by which he attempted to bring out the Sutra's deepest meaning and define its position and importance in the body of the Buddhist writings as a whole. This system was further elaborated and refined in subcommentaries on Chih-i works written by his disciples or later scholars of the T'ien-t'ai school. To fully appreciate the way in which the Lotus Sutra has traditionally been interpreted in East Asian Buddhist circles, one would ideally have to master the ideas and terminology of this system of the exegesis. 

THE WORLD OF THE LOTUS SUTRA

The Lotus Sutra depicts events that take place in a cosmic world of vast dimensions, a world in many ways reflecting traditional Indian views of the structure of the universe.For those who are not familiar with such views, it may be well to describe them here in brief. The world in which we live at present, it was believed, is made up of four continents ranged around a great central mountain, Mount Sumeru. We live in the continent located to the south, known as Jambudwipa or the "continent of the jambu trees."  Outside of our present world there exist countless others spread out in all directions, some similarly made up of four continent, others realms presided over by various Buddhas. All these worlds, like our own, are caught up in a never ending cycle of formation, continuance, decline, and disintegration, a process that takes place over vast kalpas or eons of time.


The ordinary beings living in our present world fall into six categories or occupy six realms of existence, arranged in hierrarchical order in terms of their desireability. Lowest are the hell dwellers, beings who because of their evil actions in the past are compelled, for a time at least, to suffer in the various hells that exist beneath the earth, the most terrible of which is the Avichi hell or the hell of incessant suffering. On a slighty higher level are the hungry ghosts or spirits, beings who are tormented by endless hunger or craving. Above this is the level of beasts or beings of animal nature, and above that the realm of the asuras, demons who are pictured in Indian mythology as constantly in angry warfare. These first three or four realms represent the "evil paths," the lowest, most painful and undesirable states of existence.


Above this is the fifth level, the realm of human beings, and the sixth, that of the heavenly beings or gods. The gods, through they lead for happier lives that the beings in other realms, are doomed in time to die. Wherever the realm, all the beings in these six realms repeat never-ending cycle of death and rebirth, moving up or down from one level to another depending upon the good or evil deeds they have commited, but never gaining release from the cycle.

To these six lower worlds or levels Mahayana Buddhism adds four more, the "holly states," representative of the life of enlightenment. On the seventh level are the shravakas or voice-hearers. This term, by which they are known in the Lotus Sutra, originally reffered to the Buddha's disciples, those who had entered the Buddhist Order and learned the doctrines and practises directly from him, through later it came to refer to those monks and nuns who followed the teachings of early Buddhism such as four noble truths and strove to attain the state of arhat. Once they attained the state they ceased their endeavors, convinced that they had gained the highest goal possible for them.

Above these, on the eight level, are the pratekyabuddhas or "self-enlightened ones," beings who have won an understanding of the truth through their own efforts but who make no effort to teach others or assist them to enlightenment. On the ninth level are the boddhisattvas, already described above, who out of compassion postpone their entry into Buddhahood and remain in the saha world to alleviate the sufferings of others. On the tenth and highest level are the Buddhas or the state of Buddhahood. It is this level, according to Mahayana doctrine, that all living beings should seek to attain, and which, it insists, they can in time attain if they will not content themselves with lesser goals but have faith in the Buddha and his teachings as these are embodied in the sacred scriptures.


THE PRINCIPAL DOCTRINES OF THE LOTUS SUTRA


The Kumarajiva translation of the Lotus Sutra as it exists at present is made up of twenty-eight chapters. Nearly all the chapters consist of a combination of prose and verse passages. Like nearly all sutras, the Lotus begins with the Buddha's close disciples Ananda speaking the words, "This is what I heard." Ananda who was present at all the Buddha's expositions of the Dharma or doctrine, then proceeds to describe the occasion when, at Mount Gridhrakuta or Eagle Peak near the city of Rajagriha, the Buddha preached the Lotus Sutra. In these opening sentences we are still in the world of historical reality or possibility, in a setting in the outskirts of the city of Rajagriha in northern India in which Gautama or Shakyamuni very probably did in fact propound his doctrines in the sixth or fifth century BCE.


But as Ananda proceeds to describe the staggering number and variety of human, nonhuman, and heavenly beings who have gathered to listen to the Buddha's discourse, we realize that we have left the world of factual reality far behind. This is the first point to keep in mind in reading the Lotus Sutra. Its setting, its vast assembly of listeners, its dramatic occurences in the end belong to a realm that totally trancends our ordinary concepts of time, space, and possibility. Again and again we are told of events that took place countless, indescribable numbers of kalpas or eons in the past, or of beings or worlds that are as numerrous as the sands of millions and billions of Ganges rivers. Such "numbers" are in fact no more than pseudo-numbers or non-numbers, intended to impress on us the impossibility of measuring the immeasurrable. They are not meant to convey any stastical data but simply to boggle the mind and jar it loose from its conventional concepts of time and space. For in the realm of Emptiness [Shunyata] time and space as we conceive them are meaningless; anywhere is the same as everywhere, and now, then, never, forever are all one.

After several astounding events that impress upon us the truly cosmis scale of the drama that is unfolding, the Buddha begins to preach. The first important point he wishes to convey is that there is only one vehicle [Ekayana] or one path to salvation, that which leads to the goal of Buddhahood.Earlier in his preaching career, he had described three paths for the believer, what he calls the three vehicles [Triyana]. One was that of the shravaka or voice-hearer, which leads to the realm of the arhat. Second was that of the pratekyabuddha, the being who gains enlightenment by himself and for himself alone, and the third was that of the boddhisattva. But now, the Buddha tells us, these lesser paths or goals are to be set aside and all beings are to aim for the single goal of Buddhahood, the one and only vehicle to true enlightenment or perfect understanding, a state designated in the Lotus Sutra by the rather daunting Sanskrit term annutara-samyak-sambodhi. 


When asked why, if there is only the single vehicle or truth, the Buddha has earlier taught his followers the dotrine of the three vehicles, he replies that at that time they were not yet ready to comprehend or accept the highest truth. Therefore he had to employ what he terms an expedient means [Upaya Kausalya] in order to lead them gradually along the road to greater understanding. He then illustrates his point through the famous parable of the burning house.


The first lesson the sutra wishes to teach, then, is that its doctrines, delivered by the Buddha some forty or more years after the start of his preaching career, which is how the Lotus Sutra depicts them, represent the highest level of truth, the summation of the Buddha's message, supersiding his earlier pronouncements, which had only provisional validity. 


In some Mahayana texts Shariputra and the other close disciples of the Buddha, who represent the Lesser vehicle outlook and path of endeavor, are held up to ridicule or portrayed as figures of fun. But the prevailing mood of the Lotus Sutra is one of compassion, and in it the voice-hearers are shown responding to the Buddha's words with understanding and gratitude. In return, the Buddha bestows on each of them a prophecy of the attainment of Buddhahood in a future existence, and in many cases reveals the type of Buddha land each will preside over. 


All these monks and nuns have been personal followers of Shakyamuni Buddha, dilligent in religious practice and faultless in their observance of the rules of conduct, and it is hardly suprising to learn that their efforts are to be crowned with success. Trully surprising however, is the prophecy set forth in chapter twelve concerning Devadatta, who gives his name to the chapter.


Devadatta is described in accounts of the life of Shakyamuni Buddha as a disciple and cousin of the Buddha who, through full of zeal at first, later grew envious of Shakyamuni, made several attempts on his life, and schemed to foment division in Order. For these crimes, amont the most heinous in the eyes of Buddhism, he was said to have fallen into hell alive. Yet in chapter twelve of the Lotus Sutra the Buddha reveals that in a past existence this epitome of evil was in fact a good friend and teacher of the Buddha, preaching the way of enlightenment for him, and that in an era to come, Devadatta will without fail become a Buddha himself. From this we learn that even the most depraved of persons can hope for salvation, and that in the realm of nondualism good and evil are not the eternal and mutually exclusive opposites we had supposed then to be. 


Chapter twelve relates another affair of equally astounding import. In it, the boddhisattva Manjushri describes how he has been preaching the Lotus Sutra at the palace of the dragon king at the bottom of the sea. The nagas or dragons, it should be noted, are one of eight kinds of nonhuman beings who are believed to protect Buddhism. They were revered in early Indian folk religion and were taken over by Buddhism, whose scriptures often portray them as paying homage to the Buddha and seeking knowledge of his teachings.

Asked if there were any among his listeners who succedded in gaining enlightenment, Manjushri mentions the daughter of the dragon king Sagara, a girl just turned eight, who was able to master all the teachings. The questioner expresses understandable skepticism, pointing out that even Shakyamuni himself required many eons of religious practice before he could achieve enlightenment.


The girl herself then appears and before the astonished assembly performs various acts that demonstrate she has in fact achieved the highest level of understanding and can "in an instant" attain Buddhahood. Earlier Buddhism had asserted that women are gravely hampered in their religious endeavors by "five obstacle," one of which is the fact that they can never hope to attain Buddhahood. But all such assertions are herein the Lotus Sutra unequivocally thrust aside. The child is a dragon, a nonhuman being, she is of the female sex, and she has barely turned eight, yet she reaches the highest goal in the space of a moment. Once again the Lotus Sutra reveals that its revolutionary doctrines operate in a realm transcending all pretty distinctions of sex or species, instant or eon.


These joyous revelations concerning the universal accesibility of Buddhahood, which occupy the middle chapters of the Sutra, constitute the second important message of the work. The third is set forth in chapter sixteen. In chapter fifteen we are told how a vast multitude of Boddhisattvas spring up from the earth in a miraculuous manner in order that they may undertake the task of transmitting and protecting the teachings of the Buddha. When the Buddha is asked who these boddhisattvas are, he replies that they are persons whom be has taught and converted such immeasurable multitudes in the course of only forty years of preaching.


In chapter sixteen Shakyamuni reveals the answer to this riddle. The Buddha, he says, is an eternal being, ever present in the world, ever concerned for the salvation of all beings. He attained Buddhahood an incalculably distant time in the past, and has never ceased to abide in the world since then. He seems at times to pass away into nirvana, and at other times to make new appearance in the world. But he does this only so that living beings will not take his presence for granted and be slack in their quest for enlightenment. His seeming dissapearance is no more than an expedient means which he employs to encourage then in the their efforts, one of many such expedients that he adopts in order to fit his teachings to the different natures and capacities of individual beings and insue that they will have relevance for all. From this we see that in the Lotus Sutra the Buddha, who had earlier been viewed as historical personality, is now conceived as a being who transcends all boundaries of time and space, an ever-abiding principle of truth and compassion that exists everywhere and within all beings.

These then are the principal teachings of the Lotus Sutra, concepts that are basic to all Mahayana thought. In the Sutra they are often very beautifully and persuasively expounded, especially in the various parables for which the Lotus is famous. But one should not approach the Lotus expecting to find in it a methodical exposition of a system of philosophy. Some of the most important principles of Buddhism are only touched upon in passing, as though the reader or hearer is expected to be acquainted with them already, while many of the more revolutionary doctrines are not presented in any olderly fashion or supported by careful or detailed arguments but rather thrust upon him with the suddenness of devine revelation.

The text, with its long lists of personages, its astronomical numbers, its formulaic language and frequent repetions, its vivid parables, is incantatory in effect, appealing not so much to the intelect as to the emotions. It may be noted that in the early centuries of Buddhism it was customary not to put the teachings into written form but to transmit them orally, the works being commited to memory as had been the practice in earlier Indian religion. This was thought to be the proper way, the respectful way to transmit them and insure that they were not revealed to persons who were unqualified or unworthy to receive them. The formulaic language, the recapitulations in verse, the repetitions were all designed to assist the memory of the reciter, and these stylistic features were retained even after the scriptures had been put into written form.

Very early in the sutra the Buddha warns us that the wisdom of the Buddha is extremely profound and difficult to comprehend [in Japanese Nanshin Nange], and this warning is repeated frequently in later chapter. The Lotus Sutra tells us at times that the Lotus Sutra is about to be preached, at other times it says that the Lotus Sutra has already been preached with such-and-such results, and at still other times it gives instruction on just how the Lotus Sutra is to be preached or enumerates in detail the merits that accrue to one who pays due honor to the text. But the reader may be forgiven if he comes away from the work wondering just which of the chapters that make it up was meant to be The Lotus Sutra itself. One writer has in fact been led to describe the sutra as a text "about a discourse that is never delivered,....a lengthy preface without a book." This is no doubt because Mahayana Buddhism has always insisted that its highest truth can never in the end be expressed in words, since words immediately create the kind of distinctions that violate the unity of Emptiness [Shunyata]. All the sutra can do, therefore, is to talk around it, leaving a hole in the middle where truth can reside.

But of course in the view of religion there are other approaches to truth than merely through words annd intellectual discourse. The sutra therefore exhorts the individual to approach the wisdom of the Buddhas through the avenue of faith and religious practice. The profound influence which the Lotus Sutra has exerted upon the cultural and religious life of the countries of eastern Asia is due as much to its function as a guide to devotional practice as to the actual ideas that it expounds. It calls upon us to act out the Sutra with our bodies and minds rather than merely reading it, and in that way to enter into its meaning.

Much of the Lotus Sutra is taken up with injunctions to the believer to "accept and uphold, read, recite, copy and teach" it to others, and with descriptions of the bountiful merits to be gained by such action, as well as warnings of the evil effects of speaking ill of the sutra and its practises.

Because of its importance as an expression of basic Mahayana thought, its appeal as devotional work, its dramatic scenes and memorable parables, the Lotus, as already emphasized, has exerted an incalculable influence upon the culture of East Asia.

The Lotus is not so much an integral work as a collection of religious texts, an anthology of sermons, stories and devotional manuals, some speaking with particular force to persons of one type or in one set of circumstances. This is no doubt one reason why it has had such broad and lasting appeal over the ages and has permeated so deeply into the cultures that have been exposed to it.

The present translation is offered in the hope that through it readers of English may come to appreciate something of the power and appeal of the Lotus Sutra, and that among its wealth of profound religious ideas and striking imagery they may find passages that speak compellingly to them as well.

BURTON WATSON. 





Selasa, 21 Februari 2012

ONE GREAT REASON BUDDHA APPPEAR IN THE WORLD
 Shariputra, what does it mean to say that the Buddhas, The World-Honored Ones, appear in the world for one great reason alone?
"The Buddhas, the World-Honored Ones, wish to open the door of Budha wisdom to all living beings, to allow them to attain purity. That is why they appear in the world. They wish to show the Buddha wisdom to living beings, and therefore they appear in the world. They wish to cause living beings to awaken to the Buddha wisdom, and therefore they appear in the world. They wish to induce living beings to enter the path of Buddha wisdom, and therefore they appear in the world. Shariputra, this is the one great reason for which the Buddhas appear in the world."

THE LOTUS SUTRA, CHAPTER 2, EXPEDIENT MEANS (UPAYA KAUSALYA).

Sabtu, 24 September 2011


 PESAN BODHGAYA DI BHUMISAMBHARABUDARA.


 Umbul-umbul berkepakan ditiup angin. Kibaran bendera penuh semburat warna menambah ceria suasana .Di kejauhan terdengar alunan suara pembacaan parita-parita. Diiringi denting bunyi-bunyian  bel,  tercium wewangian dupa yang menyusup keluar  membumbung tinggi hingga ke langit biru. Didalam  tenda-tenda tempat doa dipanjatkan, para Bhikksu memimpin upacara dalam jubah aneka warna. Berbeda namun tetap dalam bingkai dan semangat kebersamaan melaksanakan ajaran Sang Buddha. Sebuah ritus dan pemandangan yang berulang di pelataran sebuah candi. Perayaan keagamaan yang menjadi katup pelepas kepenatan setelah setahun hidup didera perjuangan penuh kompetisi, keinginan untuk menemukan kembali ruang dan waktu yang hilang ditelan kesibukan inderawi.  Mengisi kembali energi yang telah habis terbuang ,berhamburan dalam kenikmatan hiburan tak berarti. Perayaan Waisak, sebuah momen selebrasi sekaligus kontemplasi untuk menggali, mencari, memaknai kembali ketiga peristiwa agung yang mewarnai perjalanan hidup Sang Buddha. 


Di latar belakang dari pelataran tempat upacara, sebuah bangunan setinggi 40 meter menjulang ke angkasa. Gunadarma, sang arsitek membutuhkan waktu 20 tahun  untuk merancang, membimbing dan mempersiapkan segala kebutuhan sebelum membangun monumen yang paling impresif di dunia, yang pernah dibangun oleh umat manusia. 73 Stupa di teras berbentuk lingkaran, 1.500 panel kisah kehidupan Siddharta  di teras berbentuk segi empat, yang mengisahkaan inkarnasi  kehidupan lalunya, sebagai Boddhisatva Sudhana, dari putra mahkota menjadi  Buddha hingga saat-saat akhirnya memasuki  Nirvana.  Sekitar 2.000.000 kubik kaki batu, dan termasuk 2.600 meter persegi  relief  digunakan untuk menyusun sebuah ilustrasi teks Mahayana , khususnya teks Gandavyuha--- kisah tentang peziarah yang tekun dalam upayanya untuk memperoleh pencerahan---sebuah exposisi  raksasa tentang kerinduan dan penghormatan raja Sailendra (800 SM)  kepada Sang Buddha.


Mimpi  besar, keyakinan yang mendalam dan kesabaran membangun selama hampir seabad memperoleh imbalannya. Bhumisambharabudara. ‘ gunung terkumpulnya kebajikan dari pelaksanaan sepuluh tahap keboddhisatvaan’ terwujud sudah. Dibangun diatas dataran tinggi Kedu yang amat subur, Bhumisambharabudara yang kemudian hari lebih dikenal sebagai  Borobudur dapat pula dipandang sebagai mandala yang mencerminkan filosofi  triloka, tiga pembagian  alam semesta. Keseluruhan bangunan dipersembahkan dalam bentuk  simbolisasi transisi Buddhis dari manifestasi kehidupan yang paling rendah, dikendalikan naluri dalam keseharian (kamadhatu), selanjutnya melalui berbagai tahapan pertapaan spiritual yang lebih tiinggi dari duniawi(rupadhatu) menuju kondisi puncak dari  pencerahan spiritual (arupadhatu) lepas dari keterikatan hawa nafsu dan ilusi. 


Kini, 2.500 tahun setelah kemokshaan Nya, setiap tahun umat Buddha di seluruh dunia memperingati ketiga peristiwa---kelahiran, pencerahan, masuk Nirvana---dalam perjalanan hidup Sang Buddha di saat purnamasidhi pada bulan Vaisakha (April-Mei). Sebuah berkah tersendiri bagi umat Buddha khususnya di Indonesia  dapat mengikuti puncak perayaanya di lokasi yang monumental; Borobudur. Sebuah bangunan arsitektur maha karya orisinal anak bangsa dalam menterjemahkan ajaran Buddhisme secara visual dan taktikal (tactile). Pesan dari Boddhgaya terpampang di dinding Bhumisambharabudara, memperkaya bathin sekaligus mengantarkan kita kepada pengalaman religius tiada bandingnya.  Lalu sebenarnya  apa makna  yang terkandung dibalik ketiga peristiwa yang diperingati setiap perayaan Waisak tersebut? Mengapa seorang Buddha dilahirkan di dunia untuk mengalami penderitaan?  Apakah yang dimaksud dengan pencapaian kesadaran Buddha di bawah pohon boddhi tersebut? Benarkah Buddha hidup abadi, selalu hadir diantara kita meskipun telah memasuki Nirvana?  


Kelahiran


Pertapa Asita tak kuasa lagi menahan gejolak perasaannya. Tubuhnya gemetar , air mata membasahi pipinya. Bayi mungil di pangkuan Mahaprajapati Gautami itu perlahan lahan membuka mata menatap wajah Asita dalam-dalam dan sebuah senyum penuh pesona tersungging di  bibirnya yang indah. Melihat air mata bercucuran di wajah Asita, Raja Suddhodhana berucap perlahan dengan penuh khawatir : “Apakah ada sesuatu hal yang menyedihkan bakal menimpa putra ku?”. Sang pertapa menjawab : “ Di hadapanku  terdapat seorang bayi yang memiliki kharisma yang luar biasa. Aku tahu siapa diri Nya. Ia telah melewati kehidupan bersama ku selama berjuta-juta  kalpa waktu yang tak terhingga. Ia telah menyumbangkan jiwa raga Nya untuk melayaniku  untuk sebuah tujuan hidup yang sungguh mulia . Pada masa lalu, beliau adalah seorang  raja yang dengan penuh ketulusan melepaskan kedudukannya untuk memasuki kehidupan suci dengan menjadi pelayan Ku. Setiap hari  Ia memetik buah, menimba air, mencari kayu bakar, menyediakan makanan bahkan bersedia menjadikan punggung tubuhnya sebagai tempat duduk Ku. Oh…..baginda raja, betapa besar karunia yang kau miliki . Bayi mu kelak akan menjadi seorang Cakravartin, penguasa dari seluruh raja diraja diseluruh dunia. Atas kehendaknya pula ia juga dapat menjadi  Buddha, penguasa Dharma di seluruh jagad Triloka alam semesta.  Inilah yang membuat diri ku sedih, karena usia ku yang sudah lanjut ini tak sanggup lagi menyaksikan dirinya tumbuh menjadi Buddha, Tathagata  Sastadevanammanusyanam, guru dari segala dewa dan manusia”. Mendengar ramalan pertapa Asita tersebut, Raja Suddhodhana diliputi rasa sukacita yang tak terhingga lalu memberi nama putranya Siddharta (tercapainya tujuan) Gautama (sapi unggul).


Siddharta Gautama lahir di Taman Lumbini –kini bernama Paderia di Selatan Nepal – dua ribu lima ratus tahun yang lalu. Ibundanya, ratu Maya meninggal dunia tidak lama setelah melahirkan Siddharta. Bibinya, Mahaprajapati Gautami  kelak mengasuh Siddharta muda hingga dewasa. Ayahnya, raja Suddhodhana adalah pemimpin suku bangsa Shakya. Kerajaan kecil  yang berada di kaki gunung Himalaya dekat perbatasan India dan Nepal itu adalaah negeri yang subur dan indah. Secara politis, negeri yang beribukota di Kapilavastu  tersebut berada dibawah kekuasaan Kosala, satu dari “Enam Belas Negara Bagian Besar” India kuno saat itu. Di sebelah selatan, berdiri  negara bagian besar lainnya yakni Magadha.
Tumbuh sebagai pemuda cendekia dan perasa, Siddharta muda terlihat sering merenung dan memikirkan makna kehidupan di dunia ini. Sebagai seorang putra mahkota, dirinya banyak mendapat latihan fisik. Bakat dan ketrampilannya menggunakan alat pertempuran  sungguh menakjubkan. Dibalik penampilannya yang rupawan, Siddharta terkenal pula sebagai pemuda berwatak kontemplatif. Dia sering terlihat duduk bersila bersikap meditatif sambil melihat fenomena yang terjadi disekeliling. Inilah yang membuatnya berbeda dengan pangeran-pangeran lainnya. Meski hidup berkelimpahan harta, hatinya gelisah. Dirinya selalu diliputi oleh pertanyaan-pertanyaan tentang makna kelahiran, kehidupan yang dipenuhi  penderitaan, kemewahan hidup, perasaan  sedih atas kematian ibunda , perkawinan dengan Yasodhara hingga kelahiran putranya Rahula. 


Hal- hal inilah yang mendorong dan mempertebal keyakinannya untuk melepaskan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan spiritual sebagai seorang yogi. Raja Suddhodhana yang sejak awal telah mengetahui itikad putranya berusaha  menggunakan  berbagai macam cara menghalangi keinginan Siddharta. Harta yang melimpah, wanita wanita cantik, istana-istana indah  serta kedudukan sebagai putra mahkota yang memiliki kuasa tak terbatas dipersiapkan secara seksama.  Sebisa mungkin Siddharta tidak diperkenankan melihat realita kehidupan yang sesungguhnya diluar istana. Realita kehidupan hanya akan membawa diri sang pangeran semakin besar keinginannya  untuk memasuki dunia spiritual. Raja Suddodhana lebih menginginkan putranya  menjadi raja penguasa dunia ketimbang menjadi Buddha.


Keinginan mulia Siddharta untuk melepaskan kehidupan duniawi ini secara tak terduga memperoleh momentum ---yang  kelak di kemudian hari dikenal sebagai “Empat Perjumpaan”---ketika keluarga kerajaan mengadakan acara tamasya keluar istana bagi dirinya. Pada hari pertama, ditemani kusirnya Channa, ia meliwati pintu gerbang Timur dan terheran-heran melihat untuk pertama kalinya seorang tua renta yang berwajah keriput berjalan terseok-seok. Ia pun bertanya kepada Channa, gerangan apa yang sedang dialami oleh orang tersebut. Channa menjelaskan secara gamblang mengenai masa tua yang akan dihadapi oleh semua manusia.Keesokan harinya, ketika meliwati pintu gerbang Selatan, hatinya trenyuh melihat seorang yang sedang meronta-ronta karena kesakitan. Kembali sang pangeran bertanya kepada Channa dan yang pada akhirnya mengetahui tentang sakit yang pasti dialami manusia. Pada hari ketiga, di saat memasuki pintu gerbang Barat, rasa sedih  yang mendalam menyayat hatinya ketika melihat jenazah orang yang telah mati. Kembali Channa menjelaskan tentang akhir kehidupan yang tak dapat dihindari manusia. 


Perjumpaannya dengan orang tua,sakit, mati dan ditambah dengan kelahiran inilah yang dalam agama Buddha dikenal sebagai “Empat Penderitaan”. Di dalam perkembangannya “Empat Penderitaan”-lahir, tua, sakit,mati-ini ditambah lagi dengan empat penderitaan lainnya yakni penderitaan berpisah dengan orang yang dicintai, penderitaan bertemu dengan orang yang dibenci, penderitaan karena tidak terpenuhinya keinginan dan penderitaan karena ketidakseimbangan lima unsur dalam diri. Kedelapan penderitaan ini merupakan tema sentral Buddhisme  dalam mengatasi problem fundamental menyangkut eksistensi manusia di dunia; penderitaan.  


Tekad dan dorongan dalam diri yang tumbuh semakin kuat  telah membawa Siddharta tiba pada saat yang menentukkan  untuk mencari jawab atas pertanyaan besar  yang menggelayuti pikirannya selama ini. Lalu pada suatu malam, saat terakhir sebelum meninggalkan istana, Siddharta menyempatkan diri melihat istri dan anaknya yang sedang tidur pulas. Tahu bahwa Yasodhara akan menahan kepergiannya, Ia sengaja tidak membangunkan tidur mereka. Siddharta yakin bahwa suatu saat nanti akan berjumpa kembali dengan mereka.Ditemani oleh kusirnya yang setia Channa pergi meninggalkan istana melalui pintu gerbang Selatan menuju Rajagriha, ibukota negeri Magadha untuk menjadi siswa dua guru meditasi terkemuka saat itu, Alara Kalama dan Uddaka Ramaputra. Di saat hampir tiba di tempat tujuan, Ia memerintahkan Channa untuk kembali ke istana dan menyampaikan semua hal ini kepada ayah, bibi dan istrinnya. 

Diantara ke enam murid lainnya, Siddharta termasuk murid yang cepat menguasai ilmu meditasi. Bahkan kedua guru meditasi ini sangat terpikat dengan kemampuan Siddharta yang dalam waktu singkat mampu mengusai ilmu setaraf dengan kedua guru terkemuka tersebut. Bahkan kedua guru meditasi ini menawarkan posisi kepadanya sebagai penerus perguruann. Kedua-duanya ditolak karena dirinya tidak menemukan kepuasaan dan jawaban atas pertannyaan yang memenuhi benaknya selama ini. Akhirnya Siddharta meninggalkan kedua guru berikut teman-teman seperguruan untuk kemudian  menuju tepian sungai Nairanjana di desa Uruvela yang terletak di luar kota Gaya, Rajagriha untuk mempraktekkan kehidupan asketis. Sebuah praktik pertapaan yang memberlakukan  disiplin ketat, keras dan ekstrim. Didalamnya terdapat teknik suspensi pernapasan temporer  yang harus mampu ditahan hingga nyaris mendekati tepi kehidupan, berpuasa dan mengontrol pikiran. Selama 6 tahun Siddharta  terus mempraktekkan teknik penyiksaan diri antara lain dengan cara membekuan pembuluh darah dan syaraf tubuh. Namun usaha inipun tidak berhasil menjawab pertanyaan yang menghantui dirinya tentang cara mengatasi penderitaan manusia.


Pencerahan


Tubuhnya menjadi kurus kering, tulang-tulang diwajah menonjol , mata cekung dan rambut awut-awutan. Ia tersentak menyadarii pertapaan ekstrim semacam ini tidak member  pencerahan . Dalam Majjhima Nikaya, Buddha mendeskripsikan keadaan dari bagian-bagian tubuhnya yang berubah mengerikan. Dirinya justru menjadi terikat pada daya dan upaya yang semakin menjauhkan tujuan dalam mencari jawaban. Akhirnya Siddharta menghentikan kegiatan asketik yang sia-sia tersebut dan dengan susah payah menggapai tepian sungai untuk memulihkan tubuhnya. Kelima teman pertapanya yang sebelumnya begitu percaya kepada dirinya begitu kecewa melihat Siddharta menolak pertapaan asketik ekstrim tersebut dan meninggalkannya dalam kesendirian.


Sujata, anak gadis pemilik tanah di desa Senanigama yang kebetulan sedang berjalan meliwati tepian sungai itu merasa iba melihat pertapa muda tersebut dan menawarkan secangkir  air beras susu. Siddharta, yang  telah mengubah gaya hidupnya,menerima dan membantu mempercepat pemulihan tubuh Nya. Hari itu beliau menghabiskan waktu dibawah kerimbunan pohon sala dan pada malam hari berjalan menuju pohon Pippala(Assatha) duduk bersila dengan tekad bulat tidak akan bangun hingga mencapai Pencerahan.  Pada saat itulah godaan dari Mara menghadang, namun dengan lantang diri Nya berhasil mengusir Mara dan di saat purnamasidhi di bulan Vesakha (Mei) beliau mencapai Kesadaran Buddha.  Saat itu diperkirakan usia Siddharta telah mencapai 30 tahun dan tempat dimana ia mencapai pencerahan  kini dinamakan Bodhgaya. Pohon pippala selanjutnya disebut pohon Bodhi. 


Kesadaran yang dicapainya di bawah pohon bodhi adalah tentang Hukum kehidupan yang menembus semesta, alam sekitar, manusia dan fenomena lainnya.  “Hukum” disini berarti suatu kebenaran abadi (Dharma), dimana diri Nya tercerahkan dengan kebenaran bahwa alam semesta merupakan entitas kehidupan dan tak ada apapun di alam semesta ini yang terpisah dari Hukum kehidupan ini. Hukum atau Dharma ini ada secara inheren  di alam semesta raya dan bukan kebenaran yang diciptakan  oleh Nya.

Dapat digambarkan disini bahwa  detik-detik sebelum pencerahan, Ia  memasuki alam meditasi. Meditasi adalah suatu upaya untuk memasuki alam bawah sadar, tempat bertemunya  dua  konsep berhadapan dari subjek dan objek. Shakyamuni diperkirakan telah memasuki kesadaran setahap lebih dalam dari  alam  bawah sadar ketika dirinya mengalami momen penyatuan dengan kehidupan kosmis. Pada tahap awal meditasinya beliau menyadari bahwa pikirannya dikelilingi oleh tubuh dan lingkungannya. Pada tahap ini beliau masih menyadari adanya jarak antara diri dan objek sekitarnya, sehingga dirinya  mampu melihat kehidupan masa lampaunya. Di tahap kedua meditasi mulai berlangsung, dirinya memasuki bagian paling dalam dari pikiran, yang member Nya  kemampuan menembus penglihatan “superhuman divine eye”  dari keseluruhan proses berlalu dan dilahirkannnya kembali mahluk hidup. Di tahap akhir dari meditasi, dirinya memasuki sebuah samudra kehidupan yang ditandai dengan hapusnya keseluruhan jarak antara pikiran dan tubuh, diri dan lingkungan. Konsekuensinya, ia mengalami  suatu dinamika , momen ke momen rasa kedirian dan seluruh fenomena disekitarnya bekerja membentuk dan memecah dalam harmoni, selaras dengan irama pembentukan dan penghancuran yang dimanifestasikan oleh kehidupan kosmis.   


Sejak saat itulah Siddharta disebut  sebagai  Shakyamuni “Arif bijaksana dari suku bangsa Shakya”. Disamping memperoleh gelar “Buddha”, Shakyamuni juga diberi nama gelar lainnya seperti (2) Tathagata, (3)Sammyaksambuddha, (4)Purusadamyasaranthi,(5)Sugata, (6)Vidyasaranasampanna, (7)Lokavid, (8)Sastadevanammanusyanam,(9)Arhat (10)Lokanathati.   Shakyamuni menetap selama lima Minggu di sekitar pohon bodhi menikmati kepuasaan bathin yang tiada taranya atas pencerahan yang diyakini mampu mengatasi penderitaan umat manusia menuju kebahagiaan mutlak setara dengan dirinya ; sebuah kebahagiaan atas pencapaian kesadaran Buddha. Salah satu kitab suci Buddha menyitir tekadnya : “Aku berprasetya agar seluruh umat manusia dapat mencapai kesadaran Buddha seperti diri Ku”.


 Menyadari akan kesadaran yang sulit dipercaya dan sulit dipahami ini, Shakyamuni sempat bimbang dalam upaya mengkomunikasikan pencerahan tersebut kepada umat manusia.  Ia lalu menngunjungi guru-guru meditasi dan kelima teman-teman pertapanya. Kedua guru ternyata telah wafat dan kelima teman pertapa memandangnya dengan sebelah mata karena menganggap beliau telah meninggalkan kehidupan asketik. Gundah gulana  dan keraguan  menyelimuti hati Shakyamuni, hingga suatu saat dalam meditasi Nya , Brahmana Sahampati datang mengunjungi serta memohon agar beliau  sudi membabarkan ajaran yang dapat mencerahkan manusia tersebut. Kisah pertemuan dengan Brahmana  ini merupakan simbol keputusan Shakyamuni untuk membabarkan pencapaian kesadaran Buddha  kepada umat manusia. 


 Shakyamuni mengunjungi  kelima teman pertapa di Rishi Patana,Benares (Sarnath) yang saat itu merupakan tempat favorit berkumpulnya para pertapa. Di Taman Rusa yang indah- dikemudian hari dikenal sebagai tempat “Pemutaran Roda Dharma Pertama”-itu beliau membabarkan pencapaian kesadaran kepada teman-teman pertapa.  Dikenal sebagai   Dhammacakkappavattana Sutta yang intinya menerangkan bahwa penderitaan dan kesulitan selalu ada, akan tetapi ada pemecahan yang memungkinkan melalui pengenalan masalah dari sumbernya.  Jalan keluar dari ketidakpuasan hidup menuju kebahagiaan sejati tersebut dirumuskan dalam suatu susunan Empat Kebenaran Mulia yakni : (1)Kebenaran Tentang Dukkha,(2)Kebenaran Tentang Asal Dukkha,(3)Kebenaran Tentang Akhir Dukkha,(4)Kebenaran Tentang  Jalan Menuju Akhir Dukkha. Kebenaran pertama menyatakan adanya masalah penderitaan, Kebenaran kedua menyatakan penyebab masalah, Kebenaran ketiga menyatakan keadaan ideal tanpa masalah dan Kebenaran keempat menyatakan bagaimana keadaan ideal itu dapat dicapai. 


Kata “dukkha” dalam ajaran Buddha sesungguhnya berarti “ segala-sesuatu tidak benar-benar pas daalm hidup kita—banyak terdapat kondisi yang tidak memuaskan dalam keberadaan kita; selalu saja ada sesuatu yang tampaknya tidak pas”. Jadi tema “penderitaan”yang sering diangkat dalam ajaran Buddha merujuk pada  segala jenis ketidak puasan, baik yang besar maupun yang kecil. Kebenaran tentang Dukkha yakni hidup ini penuh  dengan konflik, ketidakpuasan, penderitaan dan kesedihan (8 jenis penderitaan).  Kebenaran tentang asal dukkha menjelaskan bahwa semua nya itu disebabkan oleh keserakahan, kemarahan dan kebodohan.   Kebenaran tentanng  akhir dukkha  memberikan harapan tentang emansipasi, penyelamatan dan pembebasan bagi umat manusia atas penderitaan  itu yakni Nirvana. Kebenaran tentang jalan menuju akhir Dukkha yakni  Jalan Mulia Berfaktor Delapan. Sebuah “jalan” menuju pembebasan.


Jalan Mulia Berfaktor Delapan ini berisi segala sesuatu yang diperlukan untuk kehidupan mulia, kejernihan pemahaman dan pencapaian kebijaksanaan. Kedelapan faktor jalan mulia ini dapat dibagi dalam tiga aspek sebagai berikut : Disiplin moral (Sila): (1) Perkataan Benar, (2) Perbuatan Benar, (3) Penghidupan Benar; Pengembangan Bathin (Samadhi) : (4) Pengupayaan Benar, (5) Penyadaran Benar, (6) Pemusatan Benar; Kebijaksanaan (Prajna) : (7) Pandangan Benar, (8) Perniatan Benar. 

Sila, Samadhi dan Prajna ini adalah “Jalan” yang diajarkan Buddha bagi tercapainya kebahagiaan sejati dan merupakan fondasi  keimanan dalam agama Buddha.  Awal pembabaran ajaran Buddha ini dimaksudkan untuk mempersiapkan pendengarnya menuju ajaran yang setingkat lebih dalam perihal 12 Hukum Musabab Yang Saling Bergantung (paticcasamuppada); bahwa kehidupan dan dunia ini dibangun oleh serangkaian hubungan, yang mana kemunculan dan lenyapnya suatu faktor tergantung pada beberapa faktor lain yang mengondisikannya (hal inilah yang menjelaskan bagaimana kelahiran berulang bisa terjadi). 


Di tahap berikutnya,  Buddha  membabarkan jalan mencapai Kebahagiaan Sejati atau Pencerahan tersebut dengan menjelaskan 3 aspek Kebenaran  yang menguraikan tentang sifat sejati segala sesuatu, dimana semua keberadaan yang berkondisi terpengaruh olehnya.  Ketiga aspek kebenaran ini harus disadari untuk membantu kita menerima kenyataan di seluruh kehidupan walaupun berbeda ruang dan waktu. 3 kebenaran tersebut secara fundamental menyatu dan tak terpisahkan.


Pertama, aspek kebenaran tentang eksistensi temporer (impermanen), dimana lahir maupun bathin, pikiran atau perasaan selalu mengalami perubahan. Tidak pernah tetap atau sama, tidak ada yang permanen. Segala sesuatu terus menerus berubah, karena sebab-sebab dan kondisi yang membentuknya juga selalu berubah (Annica). Dengan  menyadari bahwa  segala sesuatu di alam semesta ini bersifat temporer dan secara konstan selalu berubah, maka diri terbebaskan dari belenggu keterikatan , terbebas dari ilusi dan hawa nafsu. 


Selanjutnya adalah aspek kebenaran  tanpa inti (non-substansial) yakni segala fenomena  tidak memiliki eksistensi absolut ; hampa/kosong (Shunyata), sesuatu yang  dapat dipahami antara ada dan tiada. Segala sesuatu tersusun dari komponen atau unsur-unsur yang selalu berubah, saling berhubungan dan saling bergantungan satu sama lain. Tidak ada satupun yang dapat berdiri sendiri sebagai suatu “inti diri” (Anatta)yang terpisah. Orang yang tidak menyadari kebenaran ini hidupnya akan dikuasai sikap “aku-punyaku-milikku” karena tidak dapat melepaskan ego yang selalu mementingkan diri sendiri. Egoisme yang membawa dirinya selalu dalam keadaan terancam oleh orang lain atau situasi tertentu. 


 Terakhir, adalah Jalan Tengah yang merupakan sifat dasar dari keberadaan. Segala fenomena yang mengandung aspek eksistensi temporer(Annica) dan aspek kebenaran tanpa inti(Shunyata)  adalah Jalan Tengah. Secara esensi Jalan Tengah ini memiliki makna yang  jauh dan mendalam, melampaui kata-kata maupun konsepsi. Ditandai punahnya segala konsep pemikiran, hilangnya dualisme dan teratasinya  segala ekstrem. Melampaui kelahiran dan kematian, kekal dan tidak kekal, diri dan tiada diri. Dengan memahami kebenaran ini, maka diri dapat mengenyahkan  kategori terakhir dari ilusi, yakni ilusi tentang sifat dasar dari kehidupan sejati, yang dapat menghambat seseorang mencapai pencerahan. Ketidaktahuan (avidya) tentang sifat dasar keberadaan ini adalah sumber dari seluruh ilusi dan hawa nafsu. Hal mana merupakan penghambat terbesar dalam menyadari realitas gaib dari segala sesuatu, karena terpisahnya diri dengan yang lain.


 Dengan menerangkan ketiga aspek kebenaraan tersebut, Buddha menjelaskan makna keberadaan diri serta kaitannya dengan alam semesta raya, mengidentifikasi sumber penderitaan serta sekaligus membuka jalan bagi tercapainya kesadaran Buddha bagi seluruh umat manusia. Siapapun yang menyadari kebenaran hakiki ini dapat mencapai kesadaran Buddha. 


Kaundiya, salah seorang dari kelima pertapa menjadi orang pertama yang mampu memahami ujaran Sang Buddha dan ke empat pertapa lainnya turut percaya dan menyatakan diri bergabung dalam sebuah Ordo Buddhisme yang merupakan cikal bakal terbentuknya Sangha (kumpulan para Bhikksu), salah satu daari tiga pusaka (Tri Ratna) keimanan dalam Buddhisme: Buddha, Dharma, Sangha. Di Taman Rusa inilah Yasha, putra salah seorang saudagar kaya dan 60 orang lainnya menyatakan diri  menjadi pengikut  beliau. Dalam perjalanan kembali ke Buddhagaya, Shakyamuni  berjumpa dengan tiga bersaudara pemimpin aliran pertapaan asketik Brahmana-Uruvela Kashyapa, Nadi Kashyapa dann Gaya Kashyapa- bersama seribu orang pengikutnya menjadi pemeluk Buddha. Bersama dengan seribu pengikut baru tersebut, Shakyamuni mengunjungi Rajagriha untuk bertemu dengan Raja Bimbisara yang kemudian menyumbangkan sebuah bangunan yang disebut Vihara Hutan Bambu. Di Rajagriha ini pula, Shariputra dan Maudgalyayana---kelak menjadi murid terkemuka Sang Buddha---bersama pimpinan mereka, Sanjaya dan dua ratus lima puluh pengikutnya melepaskan keyakinan sebelumnya sebagai pengikut Brahmanisme menjadi pengikut Buddha. 


Shakyamuni juga mengunjungi Shravasti yang merupakan ibukota kerajaan Kosala. Lalu Vaishali ibukota suku bangsa Vrijji dan Khausambi ibukota suku bangsa Vatsa. Selain Vihara Hutan Bambu, maka tempat-tempat favorit Buddha adalah Saptaparna Guha (Goa Tujuh Daun), Gridhrakuta(Tempat pembabaran Saddharma Pundarika Sutra), dan Vihara Jetavana yang dibangun oleh Sudatta atau dikenal sebagai Anatha Pindada (Si penyuplai  kebutuhan).  Vihara Jetavana digunakan Shakyamuni sebagai tempat retret di kala musim hujan yang biasanya memakan waktu tiga bulan.  Prasenajit, Raja  Kosala juga masuk kedalam agama Buddha bersama istrinya, Ratu Malika. Begitupula Ajatasathru putra Raja Bimbisara bersama-sama dengan Maha Kashyapa yang kelak akan menjadi penerus  ordo Buddhis setelah wafatnya Sang Buddha. Dalam perjalanan pembabaran ajaran ini beliau juga kembali mengunjungi Kapilavastu bertemu putranya Rahula, Nanda, sepupunya Ananda, Aniruddha, Devadatta dan seorang pemangkas rambut bernama Upalli.  Mereka semua termasuk raja Suddodhana berikut bibinya, Mahaprajapati Gautami  juga diterima sebagai pemeluk Buddha. Di sebelah Barat India, Mahakatsyayana dari negeri Avanti ikut menyebarluaskan Dharma , Purna ikut membabarkan ajaran di Sunaparranta yang terletak di Selatan Bombay, India Barat.


Masuk Nirvana


Shakyamuni wafat di usia delapan puluh tahun. Pada delapan tahun terakhir sebelum wafatnya, beliau tinggal di Gridhrakuta, Rajagriha-Magadha. Di Gridhrakuta inilah beliau membabarkan ajaran tentang pencapaian kesadaran Buddha bagi setiap manusia yang ajarannya ditulis dalam Sutra(kitab suci) Saddharma Pundarika Sutra. Bersama-sama dengan Amitarta Sutra sebagai pembuka dan Nirvana Sutra sebagai penutup.Hingga saat-saat akhir hidupnya, Shakyamuni terus  menerus melakukan perjalanan pembabaran Dharma.


 Beliau sempat mengunjungi Nalanda di desa Patali dan melihat rencana pembangunan istana yang menggambarkan kemakmuran desa tersebut. Ia juga sering menyeberangi sungai Gangga menuju Vaishali, ibukota suku bangsa Vrijji. Di tempat ini Ambapali menyumbang hutan mangga kepada ordo Buddhis. Lalu melanjutkan perjalanan ke Beluva di luar Vaishali dan mengalami sakit parah. Di tempat bernama Mala, Shakayamuni mengalami pendarahan karena diare akut setelah menerima makanan yang diberikan Chunda, pandai besi desa tersebut.

Mengenyampingkan rasa sakitnya ia tiba di Kushinagara.  Di rumpun pohon Sal di luar kota, Shakyamuni membaringkan dirinya dengan tenang. Ditopang dengan tubuh bagian kanannya dan kepala menghadap Utara beliau mengucapkan kata-kata terakhir kepada murid-muridnya : “ Kalian tidak boleh berpikir bahwa kata-kata guru mu telah tiada dan merasa ditinggalkan tanpa seorang guru. Ajaran dan Sila yang telah  Ku babarkan haruslah menjadi guru mu”. Kata-kata terakhir lainnya yang terkenal adalah : “Oleh karenanya, kalian harus menjadi pelita bagi diri mu sendiri. Jadikan diri mu sebagai tempat perlindungan. Janganlah mencari perlindungan di luar dirimu. Peganglah Dharma sebagai pelita dan jangan mencari perlindungan kepada apapun selain diri mu sendiri”.


Shakyamuni menghembuskan nafas terakhir. Jazadnya diterima oleh suku bangsa Malla di Kushinagara dan di kremasi tujuh hari kemudian. Abunya dibagi delapan, antara lain kepada  Ajatasathru, raja Magadha. Kaum Licchavis di Vaishali, suku bangsa Shakya di Kapilavastu . Stupa-stupa didirikan di seluruh India untuk menyemayamkan relik(salira) Sang Buddha. 


MAKNA TIGA PERISTIWA


Shakyamuni, sebagai manusia biasa memperlihatkan kepada kita  bahwa  sekalipun  pada kehidupan masa lampaunya telah menjalankan pertapaan dan mencapai kesadaran Buddha, dirinya tidak serta merta dilahirkan dengan keistimewaan bebas dari penderitaan.  Beliau menikah dan memiliki seorang putra layaknya manusia pada umumnya,  terdiri dari darah dan daging, memiliki nafsu keinginan dan naluri yang dibutuhkan  bagi perkembangan kehidupan. Beliau tidak dilahirkan sebagai seorang “Buddha” namun sebagai manusia pada umumnya, menjalankan pertapaan seperti pertapa-pertapa yogi  lainnya, seperti seorang penganut keagamaan yang tulus. Alasannya jelas, dibutuhkan perjuangan untuk mencapai  pencerahan sekaligus memperlihatkan  bahwa  sifat Buddha(Buddha nature) yang ada di dalam diri Sang Buddha pada hakikatnya sama dengan yang ada di dalam diri manusia biasa lainnya. Dengan kata lain, siapapun dapat mencapai kesadaran Buddha. Kesadaran Buddha tidak hanya berupa suatu potensi namun juga sesuatu kenyataan yang dapat diwujudkan.


Shakyamuni Buddha memilih senantiasa tinggal di “dunia” ini yang dianggap kotor dan fana untuk menyangkal pemahaman keliru bahwa Buddha tidak lahir dan hidup di dunia ini. Dunia tempat dimana kita hidup ini dalam bahasa Sansekerta disebut  “Saha” yang diartikan sebagai tahan; menahan kepedihan atas penderitaan. Ada aliran yang meyakini bahwa Buddha bermukim di sebelah Barat dari alam semesta , di suatu tempat yang disebut Tanah Suci dari Kebahagiaan Agung(Sukhavati). Atau Buddha yang tinggal di Kerajaan Sebelah Timur dari alam semesta raya dengan sebutan seperti Dunia Zamrud Suci dan Dunia Pusaka Teratai. “Dunia” ini adalah tempat Shakyamuni mencapai Kesadaran Buddha, tidak dalam kehidupan lain atau setelah kematiannya tetapi justru  di dalam masa kehidupan saat ini dan di dunia yang nyata ini. Hal ini mengandung arti bahwa Shakyamuni mengajarkan kepada kita untuk tidak mencari kebahagiaan di luar diri kita sendiri tetapi justru ada di dalam diri kita.


Buddha menginginkan umat manusia membuang seluruh tujuan-tujuan yang tak bernilai atau keterikatan –keterikatan  pada hal-hal di luar dirinya.Seluruh fenomena di dunia ini tidaklah pasti dan berlalu dengan cepat. Pusaran keanekaragaman yang berada disekitar kehiduupan memiliki kekuatan  yang mampu mempengaruhi umat manusia. Nafsu-nafsu keduniawian manusia yang dirangsang oleh panca indera-mata,hidung,telinga,lidah dan kulit-menghanyutkan perasaan manusia, membuat nya cenderung kehilangan kontrol atas dirinya. Dengan mencari kesenangan-kesenangan rendah untuk memuaskan nafsu-nafsu tersebut manusia mudah tersesat  dari tujuan kehidupan sejati dan jatuh kedalam penderitaan yang berat. Mereka membayangkan hal-hal keduniawian akan membawa kebahagiaan, ingin memilikinya dan memegang selama-lamanya.  Kekayaan, reputasi, kekuasaan membawa  manusia dalam perlombaan keserakahan, kemarahan, kebodohan yang berlebihan. Suatu perlombaan  yang tidak mampu memenuhi kepuasan  abadi, yang pemenangnya hanya segelintir orang dan hasil akhirnya lebih banyak menimbulkan kekecewaan kepada seseorang dan lainnya.


Shakyamuni menyadarkan manusia dan kedangkalan hidup mereka yang cenderung  hanyut oleh tingkah laku dan nafsu-nafsu naluri tanpa dapat mengendalikannya. Untuk itu ia mengajarkan agar manusia dapat melepaskan keterikatan-keterikatan dengan memahami kebenaran sejati dari segala fenomena di alam semesta raya. Kebenaran sejati bahwa segala sesuatu di alam semesta ini bersifat sementara   dan oleh karenanya selalu berubah dan tidak memiliki inti diri yang membuatnya tak abadi. Hanya dengan memahami Kebenaran sejati ini manusia akan terlepas dari keterikatannya pada  hawa nafsu dan ilusi. Namun demikian bukan berarti Buddha mengajarkan penyangkalan atas adanya hawa nafsu dalam diri yang justru dibutuhkan dalam  mempertahankan hidup.  Melalui berbagai kesempatan beliau mengajarkan bagaimana mengembangkan kearifan  untuk memilah-milah mana keterikatan yang masih bersifat wajar serta kecakapan untuk memutuskan mana diantaranya nafsu-nafsu yang bernilai positif dan yang destruktif. 


 Untuk itu setelah membabarkan   Empat Kebenaran Mulia  di Taman Rusa itu, beliau melanjutkan kembali  pembabaran ajaran berikutnya dalam sebuah rumus yang sistematik dan lengkap untuk lepas dari ketidakpuasan dan mencapai kebahagiaan sejati yakni  Jalan Mulia Berfaktor Delapan. Jalan ini diperlukan untuk kehidupan mulia, kejernihan pemahaman dan pencapaian kebijaksanaan agar terhindar dari dua  kutub ekstrim , pemanjaan diri ataupun penyiksaan diri; dua ekstrim yang pernah dilakoni di masa mudanya. 


Hingga wafat di usia delapan puluh tahun, selama 50 tahun Shakyamuni mencurahkan  waktunya  untuk membimbing manusia dengan penuh Maitri Karuna(welas asih).  Sebagai seorang Guru, beliau secara sistematis mempersiapkan murid-muridnya secara bertahap untuk satu tujuan sesuai dengan prasetya yang telah diucapkannya : “Untuk membimbing umat manusia mencapai Kesadaran Buddha sama seperti diri Ku”. Delapan tahun terakhir sebelum kemokshaannya, di puncak gunung Gridhrakuta (puncak garuda), Shakyamuni Buddha membabarkan ajaran terakhir  tentang  dimungkinkannya setiap manusia mencapai kesadaran Buddha dan kekekalabadian Buddha di ketiga masa-lalu,sekarang,mendatang.  Tentang kekekalabadian jiwa Buddha ini beliau menegaskan : “Aku membiarkan umat  tidak dapat melihat Aku, meskipun aku berada di dekatnya menyaksikan Nirvana ku, sebagai suatu cara untuk menyelamatkan mereka, tetapi sesungguhnya aku tidak moksha dan senantiasa berada disini mengajarkan Dharma. Aku senantiasa berada disini, namun karena kekuatan gaib Ku, orang-orang tersesat” (Saddharma Pundarika Sutra). 


Hal ini memastikan keberlangsungan jiwa secara abadi, dari kehidupan saat ini menuju kehidupan yang akan datang.  Shakyamuni menganggap kemokshaannya sebagai suatu cara,  dalam upayanya untuk  menyelamatkan orang-orang  yang tidak berkesadaran.  Kelahiran dan kematian  adalah  tahapan alami dari sebuah kehidupan jiwa yang kekal abadi. Semua  mengalami perputaran kelahiran  kembali dan kematian secara berkesinambungan. Setelah kematian, jiwa akan melebur kembali dalam keterpaduan dengan jiwa alam semesta. Kelahiran dan kematian adalah segi dasar dari keberadaan (eksistensi) manusia, juga merupakan cara dimana arus keabadian jiwa “menyatakan” dirinya.  Manusia yang belum saadar mengalami penderitaan karena menganggap kehidupan dimulai  pada saat kelahiran dan rampung di saat ajal. Manusia yang telah mencapai Kesadaran Buddha adalah yang menyadari intisari kehidupan dan fenomena dari kelahiran dan kematian sebagai suatu tahap dari kekekalabadian. Jiwa tidaklah lenyap atau berubah menjadi apa-apa pada kematian. Pada kematian, jiwa akan melebur dengan kehidupan jiwa alam semesta yang  lebih besar dan memasuki keadaan keterpaduan yang disebut sebagai “Shunyata”.  Jiwa akan terlahir kembali apabila suasana dan syarat-syaratnya tepat. 


Ketika umat manusia memahami secara tepat aspek kebenaran kehidupan  kejiwaan dan segala fenomena lainnya, maka suatu kehidupan jiwa yang terisi penuh dengan kebahagiaan  sejati  terbentang dihadapan . Itulah pencapaian Kesadaran Buddha  yang sesungguhnya, seperti terungkap dalam kata-kata Buddha dalam Kitab Suci Saddharma Pundarika Sutra ini : “ Ketika umat manusia menyaksikan kemokshaanku, mereka tersebar luas  menghormati peninggalan ku, mereka akan memiliki pikiran-pikiran yang mendambakan, dan di dalam hati mereka akan terlahir suatu pendambaan akan aku. Ketika mereka sungguh-sungguh berkeyakinan, jujur dan terus terang, lembut dalam pikirannya, dengan penuh kesungguhan hati  mendambakan melihat Sang Buddha, bersedia menyerahkan jiwa raganya untuk itu, maka aku beserta pesamuan para Sangha akan muncul bersama di atas puncak Gridhrakuta”.


SELAMAT HARI RAYA WAISAK. 

Tangerang, Mei 2011.




 MENEMUKAN HARTA PUSAKA DALAM JIWA. 


Belum lama ini dua peristiwa yang mengenaskan terjadi secara beruntun di sekitar kita. Pembunuhan sepasang suami istri di kota medan yang dipicu oleh persaingan bisnis dan pembantaian sadis 4 anggota keluarga di Binjai dengan penyebab sepele, charger HP!. Peristiwa demi peristiwa yang menyebabkan jatuhnya korban silih berganti menghiasi berita baik di media cetak maupun elektronik. Belum lagi teror bom yang dilakukan oleh generasi baru teroris yang bahkan telah menjadikan Indonesia sebagai medan perang. Kekerasan, kebencian dan radikalisme tumbuh dengan gejala yang semakin meningkat, telah  menimbulkan kecemasan. Kita jadi bertanya-tanya, apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam diri dan masyarakat di sekeliling kita. Mengapa kita menjadi begitu mudah menjadi pemarah, bertindak anarkis, dan kering dari nilai-nilai kemanusiaan?. 


Sebagai umat beragama Buddha, kiranya pertanyaan tersebut dapat kita renungkan lebih mendalam, terlebih lagi kita akan bersama-sama melaksanakan Hari Raya Waisak. Makna apa yang dapat kita gali dari ketiga peristiwa agung dalam perjalanan hidup Sang Buddha—kelahiran,  pencerahan dan Parinirvana—sekaligus menemukan nilai-nilai yang dapat memimpin bathin agar dapat kembali ke “Jalan” yang telah ditunjukkan Nya. Pemikiran apa yang dapat kita sumbangkan dan falsafah hidup yang bagaimana seharusnya kita laksanakan agar dendam, kebencian, dan mimpi semu memiliki kekayaan harta benda dapat diredam. Sudah menjadi tugas kita bersama sebagai murid-murid Buddha untuk menyebarluaskan Dharma yang penuh keagungan ini dengan menjadikan setiap diri kita menjadi teladan sebagaimana yang telah diajarkan oleh Sang Buddha dalam kehidupannya. Lalu apa yang bisa kita lakukan agar dapat mengubah suasana yang meresahkan ini menjadi lebih optimis, penuh dengan kebijaksanaan dan welas asih? 


 Kelahiran dan pengembaraan


Sebagaimana kita ketahui bersama, Siddharta Gautama yang lahir sekitar 2.500 tahun lalu di India, adalah seorang putra mahkota dari sebuah kerajaan yang terletak di kaki gunung Himalaya, putra dari Raja Shuddhodana, penguasa suku bangsa Shakya. Ibunya, ratu Maya melahirkan bayi yang di ramalkan akan menjadi penguasa dunia itu di Taman Lumbini (lokasinya kini disebut desa Paderia di Selatan Nepal).  Ibu kota kerajaan yang penduduknya sebagian besar hidup dari pertanian dan peternakan itu bernama Kapilavastu. Ibundannya meninggal dunia 7 hari setelah kelahiran Siddharta yang selanjutnya bibinya—Mahaprajapati Gautami—membantu membesarkan Nya. Siddharta Gautama menikahi Yashodara (seorang wanita ningrat) dan memberinya seorang putra, Rahula.
 Meskipun hidupnya dikelilingi kemewahan berlimpah, Siddharta tumbuh sebagai pemuda yang intelek dan berperangai halus serta memiliki kegemaran akan hal-hal yang menyangkut makna kehidupan dan kebenaran abadi. Sifat nya yang introspektif membuat dirinya tertarik dengan kehidupan keagamaan dibandingkan dengan kehidupan duniawi. 


Motif kepergian Siddharta  dari istana dipicu oleh sebuah momen tak terduga ketika dirinya diberi kesempatan untuk tamasya keluar dari Kapilavastu. Didampingi kusirnya yang setia, Channa, secara beruntun beliau bertemu dengan empat kejadian di keempat pintu gerbang istana—dikemudian hari dikenal sebagai 4 perjumpaan—yang semakin meneguhkan tekadnya untuk memasuki dunia spiritual.  Perjumpaannya dengan derita yang dialami seorang lanjut usia, orang yang sedang sakit,  kematian dan  kelahiran—dikemudian hari dikenal sebagai 4 penderitaan—menggambarkan problema mendasar dari eksistensi umat manusia. Keempat penderitaan ini ditambah 4 penderitaan lain(menjadi 8 penderitaan) yakni : (1) penderitaan berpisah dengan  yang dicintai, (2) penderitaan bertemu dengan orrang yang tidak kita sukai; (3) penderitaan karena tidak tercapainya keinginan; dan (4) penderitaan karena ketidak seimbangan lima unsur (panca-skandas), 


Pencerahan dan pembabaran ajaran


Tekad Siddharta melepaskan kehidupan duniawi ditandai dengan peletakan jabatan sebagai pangeran dengan segala gelar kehormatan dan resmi menjadi pencari kebenaran. Siddharta pergi menuju Rajagriha, ibukota dari  kerajaaan Magadha untuk belajar kepada 2 guru meditasi terkenal saat itu, Alara Kalama  dan Uddaka Ramaputta. Beliau cepat menguasai meditasi namun tidak merasa puas. Kedua guru tersebut tidak dapat membimbingnya dalam menemukan jawaban atas apa yang dipikirkan Nya: bagaimana mengatasi penderitaan. Akhirnya, Siddharrta meninggalkan ke dua guru tersebut dan pergi menuju Uruvela diluar kota Gaya yang berada di sebelah selatan Rajagiha. Di tepi sungai Nairanjana  beliau memulai sendiri kehidupan asketik yang bertumpu pada berbagai jenis praktik pertapaan yang berat. Laku tapa brata ini dijalankan selama 6 tahun, namun demikian tetap tidak dapat memuaskan diri Nya. Akhirnya, beliau menolak kehidupan pertapaan asketik yang sia-sia tersebut, dan mencoba secara  bertahap memulihkan kembali kesehatan tubuhnya yang gering. Di saat itulah, ia menerima air susu kedelai dari Sujata, gadis desa putri dari pemilik tanah setempat. Siddharta pulih dan duduk di bawah pohon pippala (assattha)—kemudian dikenal sebagai pohon bodhi—di dekat kota Gaya, dan mencapai kesadaran Buddha. Di perkirakan usia beliau saat itu sekitar 30 tahun dan tempat pencapaian kesadaran Buddha tersebut dikenal juga sebagai Bodhgaya. Sejak itu Siddharta diberi gelar “Buddha” artinya “Yang Sadar” dan selanjutnya disebut juga sebagai Buddha Shakyamuni (arif bijaksana dari suku bangsa Shakya).


Di dalam usahanya untuk membabarkan Hukum (Dharma) kepada teman-teman pertapanya, Shakyamuni menuju Taman Rusa (saat ini disebut Sarnath) dekat Varanasi (Benares), Tempat ini juga terkenal dengan sebutan Rishi-patana  “tempat berkumpulnya para pertapa”, dan disini lah Shakyamuni membabarkan ajaran untuk pertama kali nya  yang disebut  Dhammacakkappavattana Sutta (Sutra Pemutaran Roda Dharma). Sutra ini berisi tentang bekerjanya Empat Kebenaran Mulia yakni kebenaraan pertama menyatakan adanya masalah penderitaan, kebenaran kedua menyatakan penyebab masalah, kebenaran ketiga menyatakan keadaan ideal tanpa masalah, dan kebenaran keempat menyatakan bagaimana keadaan ideal itu dapat dicapai.


 Sejak saat itu Shakyamuni Buddha berkeliling ke seluruh India dan selama 50 tahun membabarkan Dharma. Diantaranya beliau mengunjungi berbagai tempat seperti Benares, Buddhagaya, Rajagriha di Magadha, Shravasti, ibukota Kosala, Vaishali ibukota suku bangsa Vrijji; Kaushambi ,ibukota Vatsa, Gridhrakuta, Saptaparna-guha. Di tempat-tempat inilah banyak pemimpin keagamaan menjadi murid-murid Nya seperti Uruvelva Kashyapa, Nadi Kashyapa, Gaya Kashyapa, Raja Bimbisara, Shariputra, Maudgalyayana, Sanjaya Nanda, Ananda, Aniruddha, Devadatta dan Upali.


Masuk Nirvana


 Shakyamuni Buddha wafat pada usianya 80 tahun di Kushinagara. Di bawah rimbunan pohon Sala, beliau memberikan instruksi terakhir kepada murid-muridnya : Kalian tidak boleh berpikir bahwa kata-kata guru mu telah tiada dan kalian ditinggalkan tanpa seorang guru. Seluruh ajaran dan Sila yang telah kubabarkan adalah guru mu”. Ucapan terakhir lainnya yang terkenal adalah: “ Oleh karena itu, kalian harus menjadi pelita bagi diri mu. Jadikanlah diri mu sebagai pelindung. Jangan mencari pelindung di luar diri mu sendiri. Peganglah secara teguh Dharma sebagai pelita, dan jangan cari pelindung dimanapun kecuali di dalam diri mu sendiri”. Peninggalan Shakyamuni diterima oleh suku bangsa Mallas di Kushinagara dan di kremasi tujuh hari kemudian. Abu nya dibagi menjadi delapan bagian dan diberikan kepada Ajatashatru, raja dari Magadha, juga kepada kaum Licchavis dari Vaishali dan suku Shakya  di Kapilavastu. Stupa-stupa dibangun untuk menyemayamkan relic-relik Sang Buddha.

  
Mengubah Tiga Jalan


Dalam ketiga peristiwa—kelahiran, pencerahan dan memasuki nirvana—dalam hidup Buddha terkandung begitu banyak teladan dan ajaran yang dapat kita petik. Ia merupakan sosok yang bijaksana,  penuh cinta dan membimbing agar kita dapat hidup mulia. Seorang pangeran  pewaris tahta kerajaan yang kaya raya, yang memilih untuk meninggalkan warisan-Nya demi kebahagiaan seluruh mahluk. Ia tidak melepaskan keduniawian pada usia senja, tetapi dalam usia belia; bukan dalam kemiskinan tapi dalam kelimpahan

Tubuh-Nya menyusut seperti kerangka, karena menjalani hidup pertapaan yang keras hingga di luar ambang batas kemampuan manusia selama enam tahun. Penyiksaan diri yang menyakitkan hanya berakibat melemahnya tubuh dan luruhnya semangat. Ia menjadi yakin bahwa ekstrim penyiksaan diri adalah sia-sia. Ia akhirnya memutuskan untuk mengambil jalan sendiri dan di saat memasuki meditasi yang mendalam, diri-Nya mencapai pencerahan di saat purnamasidhi di bawah pohon Bodhi di usia 30 tahun. Tanpa bantuan dan bimbingan adi kodrati (supra natural) apapun, dan semata-mata mengandalkan upaya dan kebijaksanaan-Nya sendiri, ia menyadari segala sesuatu sebagaimana adanya. Ia tidak terlahir sebagai” Buddha” tetapi ia menjadi “Buddha” melalui perjuangan-Nya sendiri!  


Sosok Buddha adalah seorang manusia seperti kita yang mencapai puncak tertinggi dalam menemukan Kebahagiaan Sejati yakni menyadari hakikat sejati dari segala sesuatu. Oleh karenanya  seluruh mahluk hidup, sama seperti Buddha, memiliki sifat Buddha (benih-benih ke-Buddhaan)dalam dirinya. Dengan demikian, kita semua memiliki potensi ke-Buddhaan dan dapat mencapai Pencerahan. Dalam Saddharma Pundarika Sutra beliau bersabda : “Aku berprasetya untuk membimbing seluruh umat manusia dapat mencapai kesadaran Buddha sama seperti diri Ku”. Inilah pesan Buddha yang sungguh menggembirakan, harta pusaka yang tak ternilai harganya. Beliau menunjukkan jalan dan membimbing  kita menemukan harta ini. Namun demikian beliau mengingatkan bahwa di saat yang sama, diri kita berada dalam kegelapan. Dalam Sutra 12 Hukum Musabab yang Saling Bergantung (Patticcasamuppada) diawali dengan kata Avidya; kegelapan bathin (ignorance) yang menyebabkan kita takluk dan tersesat oleh kekuatan ketamakan, kebencian dan kebodohan


Jalan menuju pencerahan ini adalah dengan membersihkan awan kegelapan bathin (avidya) yang menyelimuti sifat Buddha dalam diri kita. Avidya ditandai dengan bercokolnya tiga racun dari keserakahan, kemarahan dan kebodohan yang dikategorikan sebagai hawa nafsu (Klesha). Hawa nafsu ini adalah penyebab dari segala penderitaan baik jasmani maupun rohani. Hawa nafsu dan penderitaan yang dihasilkannya terhubung oleh karma, yang mengikat kita kepada sumber penderitaan. Hawa nafsu, karma dan penderitaan dalam Buddhisme disebut sebagai “Tiga Jalan”. Disebut jalan karena mereka saling berhubungan dan terdapat jalinan kausalitas diantara mereka. Penderitaan dipenuhi dengan hawa nafsu. Hawa nafsu menyebabkan tindakan yang menciptakan karma buruk. Efek dari karma buruk iini terwujud dalam penderitaan , baik mental maupun fisik, yang pada akhirnya mem buat hawa nafsu semakin berkobar. Hawa nafsu menumbuhkan karma buruk, yang menghasilkan lebih banyak lagi penderitaan, dan begitu seterusnya. Terjebak dalam lingkaran ini menyebabkan diri kita menderita di enam dunia rendah. 

 
 Dalam tahapannya , penderitaan disebabkan oleh karma buruk dan karma buruk dihasilkan dari hawa nafsu. Oleh karena itu, untuk mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan dan karma buruk menjadi karma baik, seseorang harus mampu mentransformasikan  hawa nafsu. Tidak akan terdapat perubahan positif dari karma seseorang tanpa mengatasi problema hawa nafsu. Dalam Buddhisme, hawa nafsu ini diterjemahkan pula sebagai “Ilusi” atau “nafsu”, yang pada intinya mengacu pada pengertian tentang berbagai fungsi mental yang mengganggu kesehatan fisik dan spiritual seseorang. Dari berbagai macam ilusi, maka Avidya (kegelapan bathin) adalah yang paling mendasar karena ia merupakan asal muasal dari segala hawa nafsu dan yang menghadang seseorang mencapai pencerahan (ketidaktahuan akan adanya sifat Buddha dalam diri).


 Dengan demikian, perjuangan untuk mengikis avidya akan membawa kita menemukan harta pusaka sesunguhnya. Kita akan terbangun dari kehidupan yang penuh dengan impian semu ini menuju kehidupan yang lebih tinggi yang penuh dengan kebijaksanaan dimana semua mahluk hidup harmonis berdampingan saling mencintai dan tidak membenci. Ketika kita berupaya mengatasi dan mengendalikan hawa  nafsu, maka dapat membimbing hawa nafsu ini kearah pencerahan dan membuka selubung avidya mewujudkan sifaf Buddha. Kita dapat mengubah bahkan karma buruk, melepaskan kita dari belenggu penderitaan dari enam dunia rendah(neraka, kelaparan, kebinatangan, asura, kemanusiaan dan surga) menuju empat dunia suci (sravaka, pratekyabuddha, boddhisatva, Buddha). 


Tidak dapat disangkal bahwa hawa nafsu membawa penderitaan, namun terlalu sederhana bila kita menganggap seluruhnya buruk. Selama manusia hidup, dirinya terikat dengan hawa nafsu; mereka dibutuhkan demi kelangsungan hidup.  Insting kelaparan akan makanan, tidur dan sex adalah hawa nafsu. Tanpa nafsu, seseorang mati. Karena hawa nafsu, seseorang dapat mempertahankan hidup. Hidup kita dipenuhi dengan hawa nafsu, Meski tanpa harus menghilangkannya, kita dapat memurnikan kehidupan kita dan mencapai pencerahan. Hawa nafsu menyatakan ilusi. Sebaliknya, pencerahan menunjukkan terbangunnya kita pada kebenaran. Ketika kita dapat meningkatkan kehidupan yang lebih tinggi, apa yang tadinya berfungsi untuk menghidupkan hawa nafsu mulai bergerak menghidupkan kesadaran, dan yang tadinya menghasilkan penderitaan berubah menjadi kebahagiaan. Ketika sifat Buddha kita terbangun maka secara alami segala hawa nafsu terarahkan menuju kebahagiaan, memutuskan lingkaran hawa nafsu—karma—penderitaan.


SELAMAT HARI RAYA WAISAK.


Tangerang, Mei 2011.
Catatan : Tulisan ini dimuat di Vivanews (Kanal U-Report) 17 Mei 2011.