Sabtu, 24 September 2011


 PESAN BODHGAYA DI BHUMISAMBHARABUDARA.


 Umbul-umbul berkepakan ditiup angin. Kibaran bendera penuh semburat warna menambah ceria suasana .Di kejauhan terdengar alunan suara pembacaan parita-parita. Diiringi denting bunyi-bunyian  bel,  tercium wewangian dupa yang menyusup keluar  membumbung tinggi hingga ke langit biru. Didalam  tenda-tenda tempat doa dipanjatkan, para Bhikksu memimpin upacara dalam jubah aneka warna. Berbeda namun tetap dalam bingkai dan semangat kebersamaan melaksanakan ajaran Sang Buddha. Sebuah ritus dan pemandangan yang berulang di pelataran sebuah candi. Perayaan keagamaan yang menjadi katup pelepas kepenatan setelah setahun hidup didera perjuangan penuh kompetisi, keinginan untuk menemukan kembali ruang dan waktu yang hilang ditelan kesibukan inderawi.  Mengisi kembali energi yang telah habis terbuang ,berhamburan dalam kenikmatan hiburan tak berarti. Perayaan Waisak, sebuah momen selebrasi sekaligus kontemplasi untuk menggali, mencari, memaknai kembali ketiga peristiwa agung yang mewarnai perjalanan hidup Sang Buddha. 


Di latar belakang dari pelataran tempat upacara, sebuah bangunan setinggi 40 meter menjulang ke angkasa. Gunadarma, sang arsitek membutuhkan waktu 20 tahun  untuk merancang, membimbing dan mempersiapkan segala kebutuhan sebelum membangun monumen yang paling impresif di dunia, yang pernah dibangun oleh umat manusia. 73 Stupa di teras berbentuk lingkaran, 1.500 panel kisah kehidupan Siddharta  di teras berbentuk segi empat, yang mengisahkaan inkarnasi  kehidupan lalunya, sebagai Boddhisatva Sudhana, dari putra mahkota menjadi  Buddha hingga saat-saat akhirnya memasuki  Nirvana.  Sekitar 2.000.000 kubik kaki batu, dan termasuk 2.600 meter persegi  relief  digunakan untuk menyusun sebuah ilustrasi teks Mahayana , khususnya teks Gandavyuha--- kisah tentang peziarah yang tekun dalam upayanya untuk memperoleh pencerahan---sebuah exposisi  raksasa tentang kerinduan dan penghormatan raja Sailendra (800 SM)  kepada Sang Buddha.


Mimpi  besar, keyakinan yang mendalam dan kesabaran membangun selama hampir seabad memperoleh imbalannya. Bhumisambharabudara. ‘ gunung terkumpulnya kebajikan dari pelaksanaan sepuluh tahap keboddhisatvaan’ terwujud sudah. Dibangun diatas dataran tinggi Kedu yang amat subur, Bhumisambharabudara yang kemudian hari lebih dikenal sebagai  Borobudur dapat pula dipandang sebagai mandala yang mencerminkan filosofi  triloka, tiga pembagian  alam semesta. Keseluruhan bangunan dipersembahkan dalam bentuk  simbolisasi transisi Buddhis dari manifestasi kehidupan yang paling rendah, dikendalikan naluri dalam keseharian (kamadhatu), selanjutnya melalui berbagai tahapan pertapaan spiritual yang lebih tiinggi dari duniawi(rupadhatu) menuju kondisi puncak dari  pencerahan spiritual (arupadhatu) lepas dari keterikatan hawa nafsu dan ilusi. 


Kini, 2.500 tahun setelah kemokshaan Nya, setiap tahun umat Buddha di seluruh dunia memperingati ketiga peristiwa---kelahiran, pencerahan, masuk Nirvana---dalam perjalanan hidup Sang Buddha di saat purnamasidhi pada bulan Vaisakha (April-Mei). Sebuah berkah tersendiri bagi umat Buddha khususnya di Indonesia  dapat mengikuti puncak perayaanya di lokasi yang monumental; Borobudur. Sebuah bangunan arsitektur maha karya orisinal anak bangsa dalam menterjemahkan ajaran Buddhisme secara visual dan taktikal (tactile). Pesan dari Boddhgaya terpampang di dinding Bhumisambharabudara, memperkaya bathin sekaligus mengantarkan kita kepada pengalaman religius tiada bandingnya.  Lalu sebenarnya  apa makna  yang terkandung dibalik ketiga peristiwa yang diperingati setiap perayaan Waisak tersebut? Mengapa seorang Buddha dilahirkan di dunia untuk mengalami penderitaan?  Apakah yang dimaksud dengan pencapaian kesadaran Buddha di bawah pohon boddhi tersebut? Benarkah Buddha hidup abadi, selalu hadir diantara kita meskipun telah memasuki Nirvana?  


Kelahiran


Pertapa Asita tak kuasa lagi menahan gejolak perasaannya. Tubuhnya gemetar , air mata membasahi pipinya. Bayi mungil di pangkuan Mahaprajapati Gautami itu perlahan lahan membuka mata menatap wajah Asita dalam-dalam dan sebuah senyum penuh pesona tersungging di  bibirnya yang indah. Melihat air mata bercucuran di wajah Asita, Raja Suddhodhana berucap perlahan dengan penuh khawatir : “Apakah ada sesuatu hal yang menyedihkan bakal menimpa putra ku?”. Sang pertapa menjawab : “ Di hadapanku  terdapat seorang bayi yang memiliki kharisma yang luar biasa. Aku tahu siapa diri Nya. Ia telah melewati kehidupan bersama ku selama berjuta-juta  kalpa waktu yang tak terhingga. Ia telah menyumbangkan jiwa raga Nya untuk melayaniku  untuk sebuah tujuan hidup yang sungguh mulia . Pada masa lalu, beliau adalah seorang  raja yang dengan penuh ketulusan melepaskan kedudukannya untuk memasuki kehidupan suci dengan menjadi pelayan Ku. Setiap hari  Ia memetik buah, menimba air, mencari kayu bakar, menyediakan makanan bahkan bersedia menjadikan punggung tubuhnya sebagai tempat duduk Ku. Oh…..baginda raja, betapa besar karunia yang kau miliki . Bayi mu kelak akan menjadi seorang Cakravartin, penguasa dari seluruh raja diraja diseluruh dunia. Atas kehendaknya pula ia juga dapat menjadi  Buddha, penguasa Dharma di seluruh jagad Triloka alam semesta.  Inilah yang membuat diri ku sedih, karena usia ku yang sudah lanjut ini tak sanggup lagi menyaksikan dirinya tumbuh menjadi Buddha, Tathagata  Sastadevanammanusyanam, guru dari segala dewa dan manusia”. Mendengar ramalan pertapa Asita tersebut, Raja Suddhodhana diliputi rasa sukacita yang tak terhingga lalu memberi nama putranya Siddharta (tercapainya tujuan) Gautama (sapi unggul).


Siddharta Gautama lahir di Taman Lumbini –kini bernama Paderia di Selatan Nepal – dua ribu lima ratus tahun yang lalu. Ibundanya, ratu Maya meninggal dunia tidak lama setelah melahirkan Siddharta. Bibinya, Mahaprajapati Gautami  kelak mengasuh Siddharta muda hingga dewasa. Ayahnya, raja Suddhodhana adalah pemimpin suku bangsa Shakya. Kerajaan kecil  yang berada di kaki gunung Himalaya dekat perbatasan India dan Nepal itu adalaah negeri yang subur dan indah. Secara politis, negeri yang beribukota di Kapilavastu  tersebut berada dibawah kekuasaan Kosala, satu dari “Enam Belas Negara Bagian Besar” India kuno saat itu. Di sebelah selatan, berdiri  negara bagian besar lainnya yakni Magadha.
Tumbuh sebagai pemuda cendekia dan perasa, Siddharta muda terlihat sering merenung dan memikirkan makna kehidupan di dunia ini. Sebagai seorang putra mahkota, dirinya banyak mendapat latihan fisik. Bakat dan ketrampilannya menggunakan alat pertempuran  sungguh menakjubkan. Dibalik penampilannya yang rupawan, Siddharta terkenal pula sebagai pemuda berwatak kontemplatif. Dia sering terlihat duduk bersila bersikap meditatif sambil melihat fenomena yang terjadi disekeliling. Inilah yang membuatnya berbeda dengan pangeran-pangeran lainnya. Meski hidup berkelimpahan harta, hatinya gelisah. Dirinya selalu diliputi oleh pertanyaan-pertanyaan tentang makna kelahiran, kehidupan yang dipenuhi  penderitaan, kemewahan hidup, perasaan  sedih atas kematian ibunda , perkawinan dengan Yasodhara hingga kelahiran putranya Rahula. 


Hal- hal inilah yang mendorong dan mempertebal keyakinannya untuk melepaskan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan spiritual sebagai seorang yogi. Raja Suddhodhana yang sejak awal telah mengetahui itikad putranya berusaha  menggunakan  berbagai macam cara menghalangi keinginan Siddharta. Harta yang melimpah, wanita wanita cantik, istana-istana indah  serta kedudukan sebagai putra mahkota yang memiliki kuasa tak terbatas dipersiapkan secara seksama.  Sebisa mungkin Siddharta tidak diperkenankan melihat realita kehidupan yang sesungguhnya diluar istana. Realita kehidupan hanya akan membawa diri sang pangeran semakin besar keinginannya  untuk memasuki dunia spiritual. Raja Suddodhana lebih menginginkan putranya  menjadi raja penguasa dunia ketimbang menjadi Buddha.


Keinginan mulia Siddharta untuk melepaskan kehidupan duniawi ini secara tak terduga memperoleh momentum ---yang  kelak di kemudian hari dikenal sebagai “Empat Perjumpaan”---ketika keluarga kerajaan mengadakan acara tamasya keluar istana bagi dirinya. Pada hari pertama, ditemani kusirnya Channa, ia meliwati pintu gerbang Timur dan terheran-heran melihat untuk pertama kalinya seorang tua renta yang berwajah keriput berjalan terseok-seok. Ia pun bertanya kepada Channa, gerangan apa yang sedang dialami oleh orang tersebut. Channa menjelaskan secara gamblang mengenai masa tua yang akan dihadapi oleh semua manusia.Keesokan harinya, ketika meliwati pintu gerbang Selatan, hatinya trenyuh melihat seorang yang sedang meronta-ronta karena kesakitan. Kembali sang pangeran bertanya kepada Channa dan yang pada akhirnya mengetahui tentang sakit yang pasti dialami manusia. Pada hari ketiga, di saat memasuki pintu gerbang Barat, rasa sedih  yang mendalam menyayat hatinya ketika melihat jenazah orang yang telah mati. Kembali Channa menjelaskan tentang akhir kehidupan yang tak dapat dihindari manusia. 


Perjumpaannya dengan orang tua,sakit, mati dan ditambah dengan kelahiran inilah yang dalam agama Buddha dikenal sebagai “Empat Penderitaan”. Di dalam perkembangannya “Empat Penderitaan”-lahir, tua, sakit,mati-ini ditambah lagi dengan empat penderitaan lainnya yakni penderitaan berpisah dengan orang yang dicintai, penderitaan bertemu dengan orang yang dibenci, penderitaan karena tidak terpenuhinya keinginan dan penderitaan karena ketidakseimbangan lima unsur dalam diri. Kedelapan penderitaan ini merupakan tema sentral Buddhisme  dalam mengatasi problem fundamental menyangkut eksistensi manusia di dunia; penderitaan.  


Tekad dan dorongan dalam diri yang tumbuh semakin kuat  telah membawa Siddharta tiba pada saat yang menentukkan  untuk mencari jawab atas pertanyaan besar  yang menggelayuti pikirannya selama ini. Lalu pada suatu malam, saat terakhir sebelum meninggalkan istana, Siddharta menyempatkan diri melihat istri dan anaknya yang sedang tidur pulas. Tahu bahwa Yasodhara akan menahan kepergiannya, Ia sengaja tidak membangunkan tidur mereka. Siddharta yakin bahwa suatu saat nanti akan berjumpa kembali dengan mereka.Ditemani oleh kusirnya yang setia Channa pergi meninggalkan istana melalui pintu gerbang Selatan menuju Rajagriha, ibukota negeri Magadha untuk menjadi siswa dua guru meditasi terkemuka saat itu, Alara Kalama dan Uddaka Ramaputra. Di saat hampir tiba di tempat tujuan, Ia memerintahkan Channa untuk kembali ke istana dan menyampaikan semua hal ini kepada ayah, bibi dan istrinnya. 

Diantara ke enam murid lainnya, Siddharta termasuk murid yang cepat menguasai ilmu meditasi. Bahkan kedua guru meditasi ini sangat terpikat dengan kemampuan Siddharta yang dalam waktu singkat mampu mengusai ilmu setaraf dengan kedua guru terkemuka tersebut. Bahkan kedua guru meditasi ini menawarkan posisi kepadanya sebagai penerus perguruann. Kedua-duanya ditolak karena dirinya tidak menemukan kepuasaan dan jawaban atas pertannyaan yang memenuhi benaknya selama ini. Akhirnya Siddharta meninggalkan kedua guru berikut teman-teman seperguruan untuk kemudian  menuju tepian sungai Nairanjana di desa Uruvela yang terletak di luar kota Gaya, Rajagriha untuk mempraktekkan kehidupan asketis. Sebuah praktik pertapaan yang memberlakukan  disiplin ketat, keras dan ekstrim. Didalamnya terdapat teknik suspensi pernapasan temporer  yang harus mampu ditahan hingga nyaris mendekati tepi kehidupan, berpuasa dan mengontrol pikiran. Selama 6 tahun Siddharta  terus mempraktekkan teknik penyiksaan diri antara lain dengan cara membekuan pembuluh darah dan syaraf tubuh. Namun usaha inipun tidak berhasil menjawab pertanyaan yang menghantui dirinya tentang cara mengatasi penderitaan manusia.


Pencerahan


Tubuhnya menjadi kurus kering, tulang-tulang diwajah menonjol , mata cekung dan rambut awut-awutan. Ia tersentak menyadarii pertapaan ekstrim semacam ini tidak member  pencerahan . Dalam Majjhima Nikaya, Buddha mendeskripsikan keadaan dari bagian-bagian tubuhnya yang berubah mengerikan. Dirinya justru menjadi terikat pada daya dan upaya yang semakin menjauhkan tujuan dalam mencari jawaban. Akhirnya Siddharta menghentikan kegiatan asketik yang sia-sia tersebut dan dengan susah payah menggapai tepian sungai untuk memulihkan tubuhnya. Kelima teman pertapanya yang sebelumnya begitu percaya kepada dirinya begitu kecewa melihat Siddharta menolak pertapaan asketik ekstrim tersebut dan meninggalkannya dalam kesendirian.


Sujata, anak gadis pemilik tanah di desa Senanigama yang kebetulan sedang berjalan meliwati tepian sungai itu merasa iba melihat pertapa muda tersebut dan menawarkan secangkir  air beras susu. Siddharta, yang  telah mengubah gaya hidupnya,menerima dan membantu mempercepat pemulihan tubuh Nya. Hari itu beliau menghabiskan waktu dibawah kerimbunan pohon sala dan pada malam hari berjalan menuju pohon Pippala(Assatha) duduk bersila dengan tekad bulat tidak akan bangun hingga mencapai Pencerahan.  Pada saat itulah godaan dari Mara menghadang, namun dengan lantang diri Nya berhasil mengusir Mara dan di saat purnamasidhi di bulan Vesakha (Mei) beliau mencapai Kesadaran Buddha.  Saat itu diperkirakan usia Siddharta telah mencapai 30 tahun dan tempat dimana ia mencapai pencerahan  kini dinamakan Bodhgaya. Pohon pippala selanjutnya disebut pohon Bodhi. 


Kesadaran yang dicapainya di bawah pohon bodhi adalah tentang Hukum kehidupan yang menembus semesta, alam sekitar, manusia dan fenomena lainnya.  “Hukum” disini berarti suatu kebenaran abadi (Dharma), dimana diri Nya tercerahkan dengan kebenaran bahwa alam semesta merupakan entitas kehidupan dan tak ada apapun di alam semesta ini yang terpisah dari Hukum kehidupan ini. Hukum atau Dharma ini ada secara inheren  di alam semesta raya dan bukan kebenaran yang diciptakan  oleh Nya.

Dapat digambarkan disini bahwa  detik-detik sebelum pencerahan, Ia  memasuki alam meditasi. Meditasi adalah suatu upaya untuk memasuki alam bawah sadar, tempat bertemunya  dua  konsep berhadapan dari subjek dan objek. Shakyamuni diperkirakan telah memasuki kesadaran setahap lebih dalam dari  alam  bawah sadar ketika dirinya mengalami momen penyatuan dengan kehidupan kosmis. Pada tahap awal meditasinya beliau menyadari bahwa pikirannya dikelilingi oleh tubuh dan lingkungannya. Pada tahap ini beliau masih menyadari adanya jarak antara diri dan objek sekitarnya, sehingga dirinya  mampu melihat kehidupan masa lampaunya. Di tahap kedua meditasi mulai berlangsung, dirinya memasuki bagian paling dalam dari pikiran, yang member Nya  kemampuan menembus penglihatan “superhuman divine eye”  dari keseluruhan proses berlalu dan dilahirkannnya kembali mahluk hidup. Di tahap akhir dari meditasi, dirinya memasuki sebuah samudra kehidupan yang ditandai dengan hapusnya keseluruhan jarak antara pikiran dan tubuh, diri dan lingkungan. Konsekuensinya, ia mengalami  suatu dinamika , momen ke momen rasa kedirian dan seluruh fenomena disekitarnya bekerja membentuk dan memecah dalam harmoni, selaras dengan irama pembentukan dan penghancuran yang dimanifestasikan oleh kehidupan kosmis.   


Sejak saat itulah Siddharta disebut  sebagai  Shakyamuni “Arif bijaksana dari suku bangsa Shakya”. Disamping memperoleh gelar “Buddha”, Shakyamuni juga diberi nama gelar lainnya seperti (2) Tathagata, (3)Sammyaksambuddha, (4)Purusadamyasaranthi,(5)Sugata, (6)Vidyasaranasampanna, (7)Lokavid, (8)Sastadevanammanusyanam,(9)Arhat (10)Lokanathati.   Shakyamuni menetap selama lima Minggu di sekitar pohon bodhi menikmati kepuasaan bathin yang tiada taranya atas pencerahan yang diyakini mampu mengatasi penderitaan umat manusia menuju kebahagiaan mutlak setara dengan dirinya ; sebuah kebahagiaan atas pencapaian kesadaran Buddha. Salah satu kitab suci Buddha menyitir tekadnya : “Aku berprasetya agar seluruh umat manusia dapat mencapai kesadaran Buddha seperti diri Ku”.


 Menyadari akan kesadaran yang sulit dipercaya dan sulit dipahami ini, Shakyamuni sempat bimbang dalam upaya mengkomunikasikan pencerahan tersebut kepada umat manusia.  Ia lalu menngunjungi guru-guru meditasi dan kelima teman-teman pertapanya. Kedua guru ternyata telah wafat dan kelima teman pertapa memandangnya dengan sebelah mata karena menganggap beliau telah meninggalkan kehidupan asketik. Gundah gulana  dan keraguan  menyelimuti hati Shakyamuni, hingga suatu saat dalam meditasi Nya , Brahmana Sahampati datang mengunjungi serta memohon agar beliau  sudi membabarkan ajaran yang dapat mencerahkan manusia tersebut. Kisah pertemuan dengan Brahmana  ini merupakan simbol keputusan Shakyamuni untuk membabarkan pencapaian kesadaran Buddha  kepada umat manusia. 


 Shakyamuni mengunjungi  kelima teman pertapa di Rishi Patana,Benares (Sarnath) yang saat itu merupakan tempat favorit berkumpulnya para pertapa. Di Taman Rusa yang indah- dikemudian hari dikenal sebagai tempat “Pemutaran Roda Dharma Pertama”-itu beliau membabarkan pencapaian kesadaran kepada teman-teman pertapa.  Dikenal sebagai   Dhammacakkappavattana Sutta yang intinya menerangkan bahwa penderitaan dan kesulitan selalu ada, akan tetapi ada pemecahan yang memungkinkan melalui pengenalan masalah dari sumbernya.  Jalan keluar dari ketidakpuasan hidup menuju kebahagiaan sejati tersebut dirumuskan dalam suatu susunan Empat Kebenaran Mulia yakni : (1)Kebenaran Tentang Dukkha,(2)Kebenaran Tentang Asal Dukkha,(3)Kebenaran Tentang Akhir Dukkha,(4)Kebenaran Tentang  Jalan Menuju Akhir Dukkha. Kebenaran pertama menyatakan adanya masalah penderitaan, Kebenaran kedua menyatakan penyebab masalah, Kebenaran ketiga menyatakan keadaan ideal tanpa masalah dan Kebenaran keempat menyatakan bagaimana keadaan ideal itu dapat dicapai. 


Kata “dukkha” dalam ajaran Buddha sesungguhnya berarti “ segala-sesuatu tidak benar-benar pas daalm hidup kita—banyak terdapat kondisi yang tidak memuaskan dalam keberadaan kita; selalu saja ada sesuatu yang tampaknya tidak pas”. Jadi tema “penderitaan”yang sering diangkat dalam ajaran Buddha merujuk pada  segala jenis ketidak puasan, baik yang besar maupun yang kecil. Kebenaran tentang Dukkha yakni hidup ini penuh  dengan konflik, ketidakpuasan, penderitaan dan kesedihan (8 jenis penderitaan).  Kebenaran tentang asal dukkha menjelaskan bahwa semua nya itu disebabkan oleh keserakahan, kemarahan dan kebodohan.   Kebenaran tentanng  akhir dukkha  memberikan harapan tentang emansipasi, penyelamatan dan pembebasan bagi umat manusia atas penderitaan  itu yakni Nirvana. Kebenaran tentang jalan menuju akhir Dukkha yakni  Jalan Mulia Berfaktor Delapan. Sebuah “jalan” menuju pembebasan.


Jalan Mulia Berfaktor Delapan ini berisi segala sesuatu yang diperlukan untuk kehidupan mulia, kejernihan pemahaman dan pencapaian kebijaksanaan. Kedelapan faktor jalan mulia ini dapat dibagi dalam tiga aspek sebagai berikut : Disiplin moral (Sila): (1) Perkataan Benar, (2) Perbuatan Benar, (3) Penghidupan Benar; Pengembangan Bathin (Samadhi) : (4) Pengupayaan Benar, (5) Penyadaran Benar, (6) Pemusatan Benar; Kebijaksanaan (Prajna) : (7) Pandangan Benar, (8) Perniatan Benar. 

Sila, Samadhi dan Prajna ini adalah “Jalan” yang diajarkan Buddha bagi tercapainya kebahagiaan sejati dan merupakan fondasi  keimanan dalam agama Buddha.  Awal pembabaran ajaran Buddha ini dimaksudkan untuk mempersiapkan pendengarnya menuju ajaran yang setingkat lebih dalam perihal 12 Hukum Musabab Yang Saling Bergantung (paticcasamuppada); bahwa kehidupan dan dunia ini dibangun oleh serangkaian hubungan, yang mana kemunculan dan lenyapnya suatu faktor tergantung pada beberapa faktor lain yang mengondisikannya (hal inilah yang menjelaskan bagaimana kelahiran berulang bisa terjadi). 


Di tahap berikutnya,  Buddha  membabarkan jalan mencapai Kebahagiaan Sejati atau Pencerahan tersebut dengan menjelaskan 3 aspek Kebenaran  yang menguraikan tentang sifat sejati segala sesuatu, dimana semua keberadaan yang berkondisi terpengaruh olehnya.  Ketiga aspek kebenaran ini harus disadari untuk membantu kita menerima kenyataan di seluruh kehidupan walaupun berbeda ruang dan waktu. 3 kebenaran tersebut secara fundamental menyatu dan tak terpisahkan.


Pertama, aspek kebenaran tentang eksistensi temporer (impermanen), dimana lahir maupun bathin, pikiran atau perasaan selalu mengalami perubahan. Tidak pernah tetap atau sama, tidak ada yang permanen. Segala sesuatu terus menerus berubah, karena sebab-sebab dan kondisi yang membentuknya juga selalu berubah (Annica). Dengan  menyadari bahwa  segala sesuatu di alam semesta ini bersifat temporer dan secara konstan selalu berubah, maka diri terbebaskan dari belenggu keterikatan , terbebas dari ilusi dan hawa nafsu. 


Selanjutnya adalah aspek kebenaran  tanpa inti (non-substansial) yakni segala fenomena  tidak memiliki eksistensi absolut ; hampa/kosong (Shunyata), sesuatu yang  dapat dipahami antara ada dan tiada. Segala sesuatu tersusun dari komponen atau unsur-unsur yang selalu berubah, saling berhubungan dan saling bergantungan satu sama lain. Tidak ada satupun yang dapat berdiri sendiri sebagai suatu “inti diri” (Anatta)yang terpisah. Orang yang tidak menyadari kebenaran ini hidupnya akan dikuasai sikap “aku-punyaku-milikku” karena tidak dapat melepaskan ego yang selalu mementingkan diri sendiri. Egoisme yang membawa dirinya selalu dalam keadaan terancam oleh orang lain atau situasi tertentu. 


 Terakhir, adalah Jalan Tengah yang merupakan sifat dasar dari keberadaan. Segala fenomena yang mengandung aspek eksistensi temporer(Annica) dan aspek kebenaran tanpa inti(Shunyata)  adalah Jalan Tengah. Secara esensi Jalan Tengah ini memiliki makna yang  jauh dan mendalam, melampaui kata-kata maupun konsepsi. Ditandai punahnya segala konsep pemikiran, hilangnya dualisme dan teratasinya  segala ekstrem. Melampaui kelahiran dan kematian, kekal dan tidak kekal, diri dan tiada diri. Dengan memahami kebenaran ini, maka diri dapat mengenyahkan  kategori terakhir dari ilusi, yakni ilusi tentang sifat dasar dari kehidupan sejati, yang dapat menghambat seseorang mencapai pencerahan. Ketidaktahuan (avidya) tentang sifat dasar keberadaan ini adalah sumber dari seluruh ilusi dan hawa nafsu. Hal mana merupakan penghambat terbesar dalam menyadari realitas gaib dari segala sesuatu, karena terpisahnya diri dengan yang lain.


 Dengan menerangkan ketiga aspek kebenaraan tersebut, Buddha menjelaskan makna keberadaan diri serta kaitannya dengan alam semesta raya, mengidentifikasi sumber penderitaan serta sekaligus membuka jalan bagi tercapainya kesadaran Buddha bagi seluruh umat manusia. Siapapun yang menyadari kebenaran hakiki ini dapat mencapai kesadaran Buddha. 


Kaundiya, salah seorang dari kelima pertapa menjadi orang pertama yang mampu memahami ujaran Sang Buddha dan ke empat pertapa lainnya turut percaya dan menyatakan diri bergabung dalam sebuah Ordo Buddhisme yang merupakan cikal bakal terbentuknya Sangha (kumpulan para Bhikksu), salah satu daari tiga pusaka (Tri Ratna) keimanan dalam Buddhisme: Buddha, Dharma, Sangha. Di Taman Rusa inilah Yasha, putra salah seorang saudagar kaya dan 60 orang lainnya menyatakan diri  menjadi pengikut  beliau. Dalam perjalanan kembali ke Buddhagaya, Shakyamuni  berjumpa dengan tiga bersaudara pemimpin aliran pertapaan asketik Brahmana-Uruvela Kashyapa, Nadi Kashyapa dann Gaya Kashyapa- bersama seribu orang pengikutnya menjadi pemeluk Buddha. Bersama dengan seribu pengikut baru tersebut, Shakyamuni mengunjungi Rajagriha untuk bertemu dengan Raja Bimbisara yang kemudian menyumbangkan sebuah bangunan yang disebut Vihara Hutan Bambu. Di Rajagriha ini pula, Shariputra dan Maudgalyayana---kelak menjadi murid terkemuka Sang Buddha---bersama pimpinan mereka, Sanjaya dan dua ratus lima puluh pengikutnya melepaskan keyakinan sebelumnya sebagai pengikut Brahmanisme menjadi pengikut Buddha. 


Shakyamuni juga mengunjungi Shravasti yang merupakan ibukota kerajaan Kosala. Lalu Vaishali ibukota suku bangsa Vrijji dan Khausambi ibukota suku bangsa Vatsa. Selain Vihara Hutan Bambu, maka tempat-tempat favorit Buddha adalah Saptaparna Guha (Goa Tujuh Daun), Gridhrakuta(Tempat pembabaran Saddharma Pundarika Sutra), dan Vihara Jetavana yang dibangun oleh Sudatta atau dikenal sebagai Anatha Pindada (Si penyuplai  kebutuhan).  Vihara Jetavana digunakan Shakyamuni sebagai tempat retret di kala musim hujan yang biasanya memakan waktu tiga bulan.  Prasenajit, Raja  Kosala juga masuk kedalam agama Buddha bersama istrinya, Ratu Malika. Begitupula Ajatasathru putra Raja Bimbisara bersama-sama dengan Maha Kashyapa yang kelak akan menjadi penerus  ordo Buddhis setelah wafatnya Sang Buddha. Dalam perjalanan pembabaran ajaran ini beliau juga kembali mengunjungi Kapilavastu bertemu putranya Rahula, Nanda, sepupunya Ananda, Aniruddha, Devadatta dan seorang pemangkas rambut bernama Upalli.  Mereka semua termasuk raja Suddodhana berikut bibinya, Mahaprajapati Gautami  juga diterima sebagai pemeluk Buddha. Di sebelah Barat India, Mahakatsyayana dari negeri Avanti ikut menyebarluaskan Dharma , Purna ikut membabarkan ajaran di Sunaparranta yang terletak di Selatan Bombay, India Barat.


Masuk Nirvana


Shakyamuni wafat di usia delapan puluh tahun. Pada delapan tahun terakhir sebelum wafatnya, beliau tinggal di Gridhrakuta, Rajagriha-Magadha. Di Gridhrakuta inilah beliau membabarkan ajaran tentang pencapaian kesadaran Buddha bagi setiap manusia yang ajarannya ditulis dalam Sutra(kitab suci) Saddharma Pundarika Sutra. Bersama-sama dengan Amitarta Sutra sebagai pembuka dan Nirvana Sutra sebagai penutup.Hingga saat-saat akhir hidupnya, Shakyamuni terus  menerus melakukan perjalanan pembabaran Dharma.


 Beliau sempat mengunjungi Nalanda di desa Patali dan melihat rencana pembangunan istana yang menggambarkan kemakmuran desa tersebut. Ia juga sering menyeberangi sungai Gangga menuju Vaishali, ibukota suku bangsa Vrijji. Di tempat ini Ambapali menyumbang hutan mangga kepada ordo Buddhis. Lalu melanjutkan perjalanan ke Beluva di luar Vaishali dan mengalami sakit parah. Di tempat bernama Mala, Shakayamuni mengalami pendarahan karena diare akut setelah menerima makanan yang diberikan Chunda, pandai besi desa tersebut.

Mengenyampingkan rasa sakitnya ia tiba di Kushinagara.  Di rumpun pohon Sal di luar kota, Shakyamuni membaringkan dirinya dengan tenang. Ditopang dengan tubuh bagian kanannya dan kepala menghadap Utara beliau mengucapkan kata-kata terakhir kepada murid-muridnya : “ Kalian tidak boleh berpikir bahwa kata-kata guru mu telah tiada dan merasa ditinggalkan tanpa seorang guru. Ajaran dan Sila yang telah  Ku babarkan haruslah menjadi guru mu”. Kata-kata terakhir lainnya yang terkenal adalah : “Oleh karenanya, kalian harus menjadi pelita bagi diri mu sendiri. Jadikan diri mu sebagai tempat perlindungan. Janganlah mencari perlindungan di luar dirimu. Peganglah Dharma sebagai pelita dan jangan mencari perlindungan kepada apapun selain diri mu sendiri”.


Shakyamuni menghembuskan nafas terakhir. Jazadnya diterima oleh suku bangsa Malla di Kushinagara dan di kremasi tujuh hari kemudian. Abunya dibagi delapan, antara lain kepada  Ajatasathru, raja Magadha. Kaum Licchavis di Vaishali, suku bangsa Shakya di Kapilavastu . Stupa-stupa didirikan di seluruh India untuk menyemayamkan relik(salira) Sang Buddha. 


MAKNA TIGA PERISTIWA


Shakyamuni, sebagai manusia biasa memperlihatkan kepada kita  bahwa  sekalipun  pada kehidupan masa lampaunya telah menjalankan pertapaan dan mencapai kesadaran Buddha, dirinya tidak serta merta dilahirkan dengan keistimewaan bebas dari penderitaan.  Beliau menikah dan memiliki seorang putra layaknya manusia pada umumnya,  terdiri dari darah dan daging, memiliki nafsu keinginan dan naluri yang dibutuhkan  bagi perkembangan kehidupan. Beliau tidak dilahirkan sebagai seorang “Buddha” namun sebagai manusia pada umumnya, menjalankan pertapaan seperti pertapa-pertapa yogi  lainnya, seperti seorang penganut keagamaan yang tulus. Alasannya jelas, dibutuhkan perjuangan untuk mencapai  pencerahan sekaligus memperlihatkan  bahwa  sifat Buddha(Buddha nature) yang ada di dalam diri Sang Buddha pada hakikatnya sama dengan yang ada di dalam diri manusia biasa lainnya. Dengan kata lain, siapapun dapat mencapai kesadaran Buddha. Kesadaran Buddha tidak hanya berupa suatu potensi namun juga sesuatu kenyataan yang dapat diwujudkan.


Shakyamuni Buddha memilih senantiasa tinggal di “dunia” ini yang dianggap kotor dan fana untuk menyangkal pemahaman keliru bahwa Buddha tidak lahir dan hidup di dunia ini. Dunia tempat dimana kita hidup ini dalam bahasa Sansekerta disebut  “Saha” yang diartikan sebagai tahan; menahan kepedihan atas penderitaan. Ada aliran yang meyakini bahwa Buddha bermukim di sebelah Barat dari alam semesta , di suatu tempat yang disebut Tanah Suci dari Kebahagiaan Agung(Sukhavati). Atau Buddha yang tinggal di Kerajaan Sebelah Timur dari alam semesta raya dengan sebutan seperti Dunia Zamrud Suci dan Dunia Pusaka Teratai. “Dunia” ini adalah tempat Shakyamuni mencapai Kesadaran Buddha, tidak dalam kehidupan lain atau setelah kematiannya tetapi justru  di dalam masa kehidupan saat ini dan di dunia yang nyata ini. Hal ini mengandung arti bahwa Shakyamuni mengajarkan kepada kita untuk tidak mencari kebahagiaan di luar diri kita sendiri tetapi justru ada di dalam diri kita.


Buddha menginginkan umat manusia membuang seluruh tujuan-tujuan yang tak bernilai atau keterikatan –keterikatan  pada hal-hal di luar dirinya.Seluruh fenomena di dunia ini tidaklah pasti dan berlalu dengan cepat. Pusaran keanekaragaman yang berada disekitar kehiduupan memiliki kekuatan  yang mampu mempengaruhi umat manusia. Nafsu-nafsu keduniawian manusia yang dirangsang oleh panca indera-mata,hidung,telinga,lidah dan kulit-menghanyutkan perasaan manusia, membuat nya cenderung kehilangan kontrol atas dirinya. Dengan mencari kesenangan-kesenangan rendah untuk memuaskan nafsu-nafsu tersebut manusia mudah tersesat  dari tujuan kehidupan sejati dan jatuh kedalam penderitaan yang berat. Mereka membayangkan hal-hal keduniawian akan membawa kebahagiaan, ingin memilikinya dan memegang selama-lamanya.  Kekayaan, reputasi, kekuasaan membawa  manusia dalam perlombaan keserakahan, kemarahan, kebodohan yang berlebihan. Suatu perlombaan  yang tidak mampu memenuhi kepuasan  abadi, yang pemenangnya hanya segelintir orang dan hasil akhirnya lebih banyak menimbulkan kekecewaan kepada seseorang dan lainnya.


Shakyamuni menyadarkan manusia dan kedangkalan hidup mereka yang cenderung  hanyut oleh tingkah laku dan nafsu-nafsu naluri tanpa dapat mengendalikannya. Untuk itu ia mengajarkan agar manusia dapat melepaskan keterikatan-keterikatan dengan memahami kebenaran sejati dari segala fenomena di alam semesta raya. Kebenaran sejati bahwa segala sesuatu di alam semesta ini bersifat sementara   dan oleh karenanya selalu berubah dan tidak memiliki inti diri yang membuatnya tak abadi. Hanya dengan memahami Kebenaran sejati ini manusia akan terlepas dari keterikatannya pada  hawa nafsu dan ilusi. Namun demikian bukan berarti Buddha mengajarkan penyangkalan atas adanya hawa nafsu dalam diri yang justru dibutuhkan dalam  mempertahankan hidup.  Melalui berbagai kesempatan beliau mengajarkan bagaimana mengembangkan kearifan  untuk memilah-milah mana keterikatan yang masih bersifat wajar serta kecakapan untuk memutuskan mana diantaranya nafsu-nafsu yang bernilai positif dan yang destruktif. 


 Untuk itu setelah membabarkan   Empat Kebenaran Mulia  di Taman Rusa itu, beliau melanjutkan kembali  pembabaran ajaran berikutnya dalam sebuah rumus yang sistematik dan lengkap untuk lepas dari ketidakpuasan dan mencapai kebahagiaan sejati yakni  Jalan Mulia Berfaktor Delapan. Jalan ini diperlukan untuk kehidupan mulia, kejernihan pemahaman dan pencapaian kebijaksanaan agar terhindar dari dua  kutub ekstrim , pemanjaan diri ataupun penyiksaan diri; dua ekstrim yang pernah dilakoni di masa mudanya. 


Hingga wafat di usia delapan puluh tahun, selama 50 tahun Shakyamuni mencurahkan  waktunya  untuk membimbing manusia dengan penuh Maitri Karuna(welas asih).  Sebagai seorang Guru, beliau secara sistematis mempersiapkan murid-muridnya secara bertahap untuk satu tujuan sesuai dengan prasetya yang telah diucapkannya : “Untuk membimbing umat manusia mencapai Kesadaran Buddha sama seperti diri Ku”. Delapan tahun terakhir sebelum kemokshaannya, di puncak gunung Gridhrakuta (puncak garuda), Shakyamuni Buddha membabarkan ajaran terakhir  tentang  dimungkinkannya setiap manusia mencapai kesadaran Buddha dan kekekalabadian Buddha di ketiga masa-lalu,sekarang,mendatang.  Tentang kekekalabadian jiwa Buddha ini beliau menegaskan : “Aku membiarkan umat  tidak dapat melihat Aku, meskipun aku berada di dekatnya menyaksikan Nirvana ku, sebagai suatu cara untuk menyelamatkan mereka, tetapi sesungguhnya aku tidak moksha dan senantiasa berada disini mengajarkan Dharma. Aku senantiasa berada disini, namun karena kekuatan gaib Ku, orang-orang tersesat” (Saddharma Pundarika Sutra). 


Hal ini memastikan keberlangsungan jiwa secara abadi, dari kehidupan saat ini menuju kehidupan yang akan datang.  Shakyamuni menganggap kemokshaannya sebagai suatu cara,  dalam upayanya untuk  menyelamatkan orang-orang  yang tidak berkesadaran.  Kelahiran dan kematian  adalah  tahapan alami dari sebuah kehidupan jiwa yang kekal abadi. Semua  mengalami perputaran kelahiran  kembali dan kematian secara berkesinambungan. Setelah kematian, jiwa akan melebur kembali dalam keterpaduan dengan jiwa alam semesta. Kelahiran dan kematian adalah segi dasar dari keberadaan (eksistensi) manusia, juga merupakan cara dimana arus keabadian jiwa “menyatakan” dirinya.  Manusia yang belum saadar mengalami penderitaan karena menganggap kehidupan dimulai  pada saat kelahiran dan rampung di saat ajal. Manusia yang telah mencapai Kesadaran Buddha adalah yang menyadari intisari kehidupan dan fenomena dari kelahiran dan kematian sebagai suatu tahap dari kekekalabadian. Jiwa tidaklah lenyap atau berubah menjadi apa-apa pada kematian. Pada kematian, jiwa akan melebur dengan kehidupan jiwa alam semesta yang  lebih besar dan memasuki keadaan keterpaduan yang disebut sebagai “Shunyata”.  Jiwa akan terlahir kembali apabila suasana dan syarat-syaratnya tepat. 


Ketika umat manusia memahami secara tepat aspek kebenaran kehidupan  kejiwaan dan segala fenomena lainnya, maka suatu kehidupan jiwa yang terisi penuh dengan kebahagiaan  sejati  terbentang dihadapan . Itulah pencapaian Kesadaran Buddha  yang sesungguhnya, seperti terungkap dalam kata-kata Buddha dalam Kitab Suci Saddharma Pundarika Sutra ini : “ Ketika umat manusia menyaksikan kemokshaanku, mereka tersebar luas  menghormati peninggalan ku, mereka akan memiliki pikiran-pikiran yang mendambakan, dan di dalam hati mereka akan terlahir suatu pendambaan akan aku. Ketika mereka sungguh-sungguh berkeyakinan, jujur dan terus terang, lembut dalam pikirannya, dengan penuh kesungguhan hati  mendambakan melihat Sang Buddha, bersedia menyerahkan jiwa raganya untuk itu, maka aku beserta pesamuan para Sangha akan muncul bersama di atas puncak Gridhrakuta”.


SELAMAT HARI RAYA WAISAK. 

Tangerang, Mei 2011.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar