MENEMUKAN HARTA PUSAKA DALAM JIWA.
Belum lama ini dua peristiwa yang mengenaskan terjadi secara
beruntun di sekitar kita. Pembunuhan sepasang suami istri di kota medan yang
dipicu oleh persaingan bisnis dan pembantaian sadis 4 anggota keluarga di
Binjai dengan penyebab sepele, charger HP!. Peristiwa demi peristiwa yang
menyebabkan jatuhnya korban silih berganti menghiasi berita baik di media cetak
maupun elektronik. Belum lagi teror bom yang dilakukan oleh generasi baru
teroris yang bahkan telah menjadikan Indonesia sebagai medan perang. Kekerasan,
kebencian dan radikalisme tumbuh dengan gejala yang semakin meningkat,
telah menimbulkan kecemasan. Kita jadi
bertanya-tanya, apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam diri dan masyarakat
di sekeliling kita. Mengapa kita menjadi begitu mudah menjadi pemarah,
bertindak anarkis, dan kering dari nilai-nilai kemanusiaan?.
Sebagai umat beragama Buddha, kiranya pertanyaan tersebut
dapat kita renungkan lebih mendalam, terlebih lagi kita akan bersama-sama
melaksanakan Hari Raya Waisak. Makna apa yang dapat kita gali dari ketiga
peristiwa agung dalam perjalanan hidup Sang Buddha—kelahiran, pencerahan dan Parinirvana—sekaligus menemukan
nilai-nilai yang dapat memimpin bathin agar dapat kembali ke “Jalan” yang telah
ditunjukkan Nya. Pemikiran apa yang dapat kita sumbangkan dan falsafah hidup
yang bagaimana seharusnya kita laksanakan agar dendam, kebencian, dan mimpi
semu memiliki kekayaan harta benda dapat diredam. Sudah menjadi tugas kita
bersama sebagai murid-murid Buddha untuk menyebarluaskan Dharma yang penuh
keagungan ini dengan menjadikan setiap diri kita menjadi teladan sebagaimana yang
telah diajarkan oleh Sang Buddha dalam kehidupannya. Lalu apa yang bisa kita lakukan
agar dapat mengubah suasana yang meresahkan ini menjadi lebih optimis, penuh
dengan kebijaksanaan dan welas asih?
Kelahiran dan pengembaraan
Sebagaimana kita ketahui bersama, Siddharta Gautama yang
lahir sekitar 2.500 tahun lalu di India, adalah seorang putra mahkota dari
sebuah kerajaan yang terletak di kaki gunung Himalaya, putra dari Raja
Shuddhodana, penguasa suku bangsa Shakya. Ibunya, ratu Maya melahirkan bayi yang
di ramalkan akan menjadi penguasa dunia itu di Taman Lumbini (lokasinya kini
disebut desa Paderia di Selatan Nepal).
Ibu kota kerajaan yang penduduknya sebagian besar hidup dari pertanian
dan peternakan itu bernama Kapilavastu. Ibundannya meninggal dunia 7 hari
setelah kelahiran Siddharta yang selanjutnya bibinya—Mahaprajapati
Gautami—membantu membesarkan Nya. Siddharta Gautama menikahi Yashodara (seorang
wanita ningrat) dan memberinya seorang putra, Rahula.
Meskipun hidupnya dikelilingi kemewahan berlimpah, Siddharta
tumbuh sebagai pemuda yang intelek dan berperangai halus serta memiliki
kegemaran akan hal-hal yang menyangkut makna kehidupan dan kebenaran abadi.
Sifat nya yang introspektif membuat dirinya tertarik dengan kehidupan keagamaan
dibandingkan dengan kehidupan duniawi.
Motif kepergian Siddharta dari istana dipicu oleh sebuah momen tak
terduga ketika dirinya diberi kesempatan untuk tamasya keluar dari Kapilavastu.
Didampingi kusirnya yang setia, Channa, secara beruntun beliau bertemu dengan
empat kejadian di keempat pintu gerbang istana—dikemudian hari dikenal sebagai
4 perjumpaan—yang semakin meneguhkan tekadnya untuk memasuki dunia spiritual. Perjumpaannya dengan derita yang dialami
seorang lanjut usia, orang yang sedang sakit,
kematian dan kelahiran—dikemudian
hari dikenal sebagai 4 penderitaan—menggambarkan problema mendasar dari
eksistensi umat manusia. Keempat penderitaan ini ditambah 4 penderitaan lain(menjadi
8 penderitaan) yakni : (1) penderitaan berpisah dengan yang dicintai, (2) penderitaan bertemu dengan
orrang yang tidak kita sukai; (3) penderitaan karena tidak tercapainya
keinginan; dan (4) penderitaan karena ketidak seimbangan lima unsur (panca-skandas),
Pencerahan dan pembabaran ajaran
Tekad Siddharta melepaskan kehidupan duniawi ditandai dengan
peletakan jabatan sebagai pangeran dengan segala gelar kehormatan dan resmi
menjadi pencari kebenaran. Siddharta pergi menuju Rajagriha, ibukota dari kerajaaan Magadha untuk belajar kepada 2 guru
meditasi terkenal saat itu, Alara Kalama
dan Uddaka Ramaputta. Beliau cepat menguasai meditasi namun tidak merasa
puas. Kedua guru tersebut tidak dapat membimbingnya dalam menemukan jawaban
atas apa yang dipikirkan Nya: bagaimana mengatasi penderitaan. Akhirnya,
Siddharrta meninggalkan ke dua guru tersebut dan pergi menuju Uruvela diluar
kota Gaya yang berada di sebelah selatan Rajagiha. Di tepi sungai
Nairanjana beliau memulai sendiri
kehidupan asketik yang bertumpu pada berbagai jenis praktik pertapaan yang
berat. Laku tapa brata ini dijalankan selama 6 tahun, namun demikian tetap
tidak dapat memuaskan diri Nya. Akhirnya, beliau menolak kehidupan pertapaan
asketik yang sia-sia tersebut, dan mencoba secara bertahap memulihkan kembali kesehatan tubuhnya
yang gering. Di saat itulah, ia menerima air susu kedelai dari Sujata, gadis
desa putri dari pemilik tanah setempat. Siddharta pulih dan duduk di bawah
pohon pippala (assattha)—kemudian dikenal sebagai pohon bodhi—di dekat kota
Gaya, dan mencapai kesadaran Buddha. Di perkirakan usia beliau saat itu sekitar
30 tahun dan tempat pencapaian kesadaran Buddha tersebut dikenal juga sebagai
Bodhgaya. Sejak itu Siddharta diberi gelar “Buddha” artinya “Yang Sadar” dan
selanjutnya disebut juga sebagai Buddha Shakyamuni (arif bijaksana dari suku
bangsa Shakya).
Di dalam usahanya untuk membabarkan Hukum (Dharma) kepada
teman-teman pertapanya, Shakyamuni menuju Taman Rusa (saat ini disebut Sarnath)
dekat Varanasi (Benares), Tempat ini juga terkenal dengan sebutan Rishi-patana “tempat berkumpulnya para pertapa”, dan
disini lah Shakyamuni membabarkan ajaran untuk pertama kali nya yang disebut Dhammacakkappavattana Sutta (Sutra Pemutaran
Roda Dharma). Sutra ini berisi tentang bekerjanya Empat Kebenaran Mulia yakni
kebenaraan pertama menyatakan adanya masalah penderitaan, kebenaran kedua
menyatakan penyebab masalah, kebenaran ketiga menyatakan keadaan ideal tanpa
masalah, dan kebenaran keempat menyatakan bagaimana keadaan ideal itu dapat
dicapai.
Sejak saat itu Shakyamuni
Buddha berkeliling ke seluruh India dan selama 50 tahun membabarkan Dharma.
Diantaranya beliau mengunjungi berbagai tempat seperti Benares, Buddhagaya,
Rajagriha di Magadha, Shravasti, ibukota Kosala, Vaishali ibukota suku bangsa
Vrijji; Kaushambi ,ibukota Vatsa, Gridhrakuta, Saptaparna-guha. Di
tempat-tempat inilah banyak pemimpin keagamaan menjadi murid-murid Nya seperti
Uruvelva Kashyapa, Nadi Kashyapa, Gaya Kashyapa, Raja Bimbisara, Shariputra,
Maudgalyayana, Sanjaya Nanda, Ananda, Aniruddha, Devadatta dan Upali.
Masuk Nirvana
Shakyamuni Buddha
wafat pada usianya 80 tahun di Kushinagara. Di bawah rimbunan pohon Sala,
beliau memberikan instruksi terakhir kepada murid-muridnya : Kalian tidak boleh
berpikir bahwa kata-kata guru mu telah tiada dan kalian ditinggalkan tanpa
seorang guru. Seluruh ajaran dan Sila yang telah kubabarkan adalah guru mu”.
Ucapan terakhir lainnya yang terkenal adalah: “ Oleh karena itu, kalian harus
menjadi pelita bagi diri mu. Jadikanlah diri mu sebagai pelindung. Jangan mencari
pelindung di luar diri mu sendiri. Peganglah secara teguh Dharma sebagai
pelita, dan jangan cari pelindung dimanapun kecuali di dalam diri mu sendiri”.
Peninggalan Shakyamuni diterima oleh suku bangsa Mallas di Kushinagara dan di
kremasi tujuh hari kemudian. Abu nya dibagi menjadi delapan bagian dan
diberikan kepada Ajatashatru, raja dari Magadha, juga kepada kaum Licchavis
dari Vaishali dan suku Shakya di
Kapilavastu. Stupa-stupa dibangun untuk menyemayamkan relic-relik Sang Buddha.
Mengubah Tiga Jalan
Dalam ketiga peristiwa—kelahiran, pencerahan dan memasuki
nirvana—dalam hidup Buddha terkandung begitu banyak teladan dan ajaran yang
dapat kita petik. Ia merupakan sosok yang bijaksana, penuh cinta dan membimbing agar kita dapat
hidup mulia. Seorang pangeran pewaris
tahta kerajaan yang kaya raya, yang memilih untuk meninggalkan warisan-Nya demi
kebahagiaan seluruh mahluk. Ia tidak melepaskan keduniawian pada usia senja,
tetapi dalam usia belia; bukan dalam kemiskinan tapi dalam kelimpahan.
Tubuh-Nya menyusut seperti kerangka, karena menjalani hidup pertapaan yang
keras hingga di luar ambang batas kemampuan manusia selama enam tahun.
Penyiksaan diri yang menyakitkan hanya berakibat melemahnya tubuh dan luruhnya
semangat. Ia menjadi yakin bahwa ekstrim penyiksaan diri adalah sia-sia. Ia
akhirnya memutuskan untuk mengambil jalan sendiri dan di saat memasuki meditasi
yang mendalam, diri-Nya mencapai pencerahan di saat purnamasidhi di bawah pohon
Bodhi di usia 30 tahun. Tanpa bantuan dan bimbingan adi kodrati (supra natural)
apapun, dan semata-mata mengandalkan upaya dan kebijaksanaan-Nya sendiri, ia
menyadari segala sesuatu sebagaimana adanya. Ia tidak terlahir sebagai” Buddha”
tetapi ia menjadi “Buddha” melalui perjuangan-Nya sendiri!
Sosok Buddha adalah seorang manusia seperti kita yang
mencapai puncak tertinggi dalam menemukan Kebahagiaan Sejati yakni menyadari
hakikat sejati dari segala sesuatu. Oleh karenanya seluruh mahluk hidup, sama
seperti Buddha, memiliki sifat Buddha (benih-benih ke-Buddhaan)dalam dirinya.
Dengan demikian, kita semua memiliki potensi ke-Buddhaan dan dapat mencapai
Pencerahan. Dalam Saddharma Pundarika Sutra beliau bersabda : “Aku berprasetya
untuk membimbing seluruh umat manusia dapat mencapai kesadaran Buddha sama
seperti diri Ku”. Inilah pesan Buddha yang sungguh menggembirakan, harta pusaka
yang tak ternilai harganya. Beliau menunjukkan jalan dan membimbing kita menemukan harta ini. Namun demikian
beliau mengingatkan bahwa di saat yang sama, diri kita berada dalam kegelapan.
Dalam Sutra 12 Hukum Musabab yang Saling Bergantung (Patticcasamuppada) diawali
dengan kata Avidya; kegelapan bathin (ignorance) yang menyebabkan kita takluk
dan tersesat oleh kekuatan ketamakan, kebencian dan kebodohan
Jalan menuju pencerahan ini adalah dengan membersihkan awan
kegelapan bathin (avidya) yang menyelimuti sifat Buddha dalam diri kita. Avidya
ditandai dengan bercokolnya tiga racun dari keserakahan, kemarahan dan
kebodohan yang dikategorikan sebagai hawa nafsu (Klesha). Hawa nafsu ini adalah
penyebab dari segala penderitaan baik jasmani maupun rohani. Hawa nafsu dan
penderitaan yang dihasilkannya terhubung oleh karma, yang mengikat kita kepada
sumber penderitaan. Hawa nafsu, karma dan penderitaan dalam Buddhisme disebut
sebagai “Tiga Jalan”. Disebut jalan karena mereka saling berhubungan dan
terdapat jalinan kausalitas diantara mereka. Penderitaan dipenuhi dengan hawa
nafsu. Hawa nafsu menyebabkan tindakan yang menciptakan karma buruk. Efek dari
karma buruk iini terwujud dalam penderitaan , baik mental maupun fisik, yang
pada akhirnya mem buat hawa nafsu semakin berkobar. Hawa nafsu menumbuhkan karma
buruk, yang menghasilkan lebih banyak lagi penderitaan, dan begitu seterusnya.
Terjebak dalam lingkaran ini menyebabkan diri kita menderita di enam dunia
rendah.
Dalam tahapannya ,
penderitaan disebabkan oleh karma buruk dan karma buruk dihasilkan dari hawa
nafsu. Oleh karena itu, untuk mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan dan
karma buruk menjadi karma baik, seseorang harus mampu mentransformasikan hawa nafsu. Tidak akan terdapat perubahan
positif dari karma seseorang tanpa mengatasi problema hawa nafsu. Dalam Buddhisme,
hawa nafsu ini diterjemahkan pula sebagai “Ilusi” atau “nafsu”, yang pada
intinya mengacu pada pengertian tentang berbagai fungsi mental yang mengganggu
kesehatan fisik dan spiritual seseorang. Dari berbagai macam ilusi, maka Avidya
(kegelapan bathin) adalah yang paling mendasar karena ia merupakan asal muasal
dari segala hawa nafsu dan yang menghadang seseorang mencapai pencerahan (ketidaktahuan
akan adanya sifat Buddha dalam diri).
Dengan demikian,
perjuangan untuk mengikis avidya akan membawa kita menemukan harta pusaka
sesunguhnya. Kita akan terbangun dari kehidupan yang penuh dengan impian semu
ini menuju kehidupan yang lebih tinggi yang penuh dengan kebijaksanaan dimana
semua mahluk hidup harmonis berdampingan saling mencintai dan tidak membenci. Ketika
kita berupaya mengatasi dan mengendalikan hawa
nafsu, maka dapat membimbing hawa nafsu ini kearah pencerahan dan
membuka selubung avidya mewujudkan sifaf Buddha. Kita dapat mengubah bahkan
karma buruk, melepaskan kita dari belenggu penderitaan dari enam dunia rendah(neraka,
kelaparan, kebinatangan, asura, kemanusiaan dan surga) menuju empat dunia suci
(sravaka, pratekyabuddha, boddhisatva, Buddha).
Tidak dapat disangkal bahwa hawa nafsu membawa penderitaan,
namun terlalu sederhana bila kita menganggap seluruhnya buruk. Selama manusia
hidup, dirinya terikat dengan hawa nafsu; mereka dibutuhkan demi kelangsungan
hidup. Insting kelaparan akan makanan,
tidur dan sex adalah hawa nafsu. Tanpa nafsu, seseorang mati. Karena hawa
nafsu, seseorang dapat mempertahankan hidup. Hidup kita dipenuhi dengan hawa
nafsu, Meski tanpa harus menghilangkannya, kita dapat memurnikan kehidupan kita
dan mencapai pencerahan. Hawa nafsu menyatakan ilusi. Sebaliknya, pencerahan
menunjukkan terbangunnya kita pada kebenaran. Ketika kita dapat meningkatkan
kehidupan yang lebih tinggi, apa yang tadinya berfungsi untuk menghidupkan hawa
nafsu mulai bergerak menghidupkan kesadaran, dan yang tadinya menghasilkan
penderitaan berubah menjadi kebahagiaan. Ketika sifat Buddha kita terbangun
maka secara alami segala hawa nafsu terarahkan menuju kebahagiaan, memutuskan
lingkaran hawa nafsu—karma—penderitaan.
SELAMAT HARI RAYA WAISAK.
Tangerang, Mei 2011.
Catatan : Tulisan ini dimuat di Vivanews (Kanal U-Report) 17 Mei 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar