PESAN BODHGAYA DI
BHUMISAMBHARABUDARA.
Umbul-umbul
berkepakan ditiup angin. Kibaran bendera penuh semburat warna menambah ceria
suasana .Di kejauhan terdengar alunan suara pembacaan parita-parita. Diiringi
denting bunyi-bunyian bel, tercium wewangian dupa yang menyusup
keluar membumbung tinggi hingga ke
langit biru. Didalam tenda-tenda tempat
doa dipanjatkan, para Bhikksu memimpin upacara dalam jubah aneka warna. Berbeda
namun tetap dalam bingkai dan semangat kebersamaan melaksanakan ajaran Sang
Buddha. Sebuah ritus dan pemandangan yang berulang di pelataran sebuah candi. Perayaan
keagamaan yang menjadi katup pelepas kepenatan setelah setahun hidup didera
perjuangan penuh kompetisi, keinginan untuk menemukan kembali ruang dan waktu yang
hilang ditelan kesibukan inderawi. Mengisi
kembali energi yang telah habis terbuang ,berhamburan dalam kenikmatan hiburan
tak berarti. Perayaan Waisak, sebuah momen selebrasi sekaligus kontemplasi
untuk menggali, mencari, memaknai kembali ketiga peristiwa agung yang mewarnai
perjalanan hidup Sang Buddha.
Di latar belakang dari pelataran tempat upacara, sebuah
bangunan setinggi 40 meter menjulang ke angkasa. Gunadarma, sang arsitek
membutuhkan waktu 20 tahun untuk
merancang, membimbing dan mempersiapkan segala kebutuhan sebelum membangun
monumen yang paling impresif di dunia, yang pernah dibangun oleh umat manusia.
73 Stupa di teras berbentuk lingkaran, 1.500 panel kisah kehidupan Siddharta di teras berbentuk segi empat, yang
mengisahkaan inkarnasi kehidupan lalunya,
sebagai Boddhisatva Sudhana, dari putra mahkota menjadi Buddha hingga saat-saat akhirnya memasuki Nirvana.
Sekitar 2.000.000 kubik kaki batu, dan termasuk 2.600 meter persegi relief digunakan untuk menyusun sebuah ilustrasi teks
Mahayana , khususnya teks Gandavyuha--- kisah tentang peziarah yang tekun dalam
upayanya untuk memperoleh pencerahan---sebuah exposisi raksasa tentang kerinduan dan penghormatan
raja Sailendra (800 SM) kepada Sang Buddha.
Mimpi besar,
keyakinan yang mendalam dan kesabaran membangun selama hampir seabad memperoleh
imbalannya. Bhumisambharabudara. ‘ gunung terkumpulnya kebajikan dari
pelaksanaan sepuluh tahap keboddhisatvaan’ terwujud sudah. Dibangun diatas
dataran tinggi Kedu yang amat subur, Bhumisambharabudara yang kemudian hari
lebih dikenal sebagai Borobudur dapat
pula dipandang sebagai mandala yang mencerminkan filosofi triloka, tiga pembagian alam semesta. Keseluruhan bangunan
dipersembahkan dalam bentuk simbolisasi
transisi Buddhis dari manifestasi kehidupan yang paling rendah, dikendalikan
naluri dalam keseharian (kamadhatu), selanjutnya melalui berbagai tahapan
pertapaan spiritual yang lebih tiinggi dari duniawi(rupadhatu) menuju kondisi
puncak dari pencerahan spiritual
(arupadhatu) lepas dari keterikatan hawa nafsu dan ilusi.
Kini, 2.500 tahun setelah kemokshaan Nya, setiap tahun umat
Buddha di seluruh dunia memperingati ketiga peristiwa---kelahiran, pencerahan, masuk
Nirvana---dalam perjalanan hidup Sang Buddha di saat purnamasidhi pada bulan
Vaisakha (April-Mei). Sebuah berkah tersendiri bagi umat Buddha khususnya di
Indonesia dapat mengikuti puncak
perayaanya di lokasi yang monumental; Borobudur. Sebuah bangunan arsitektur
maha karya orisinal anak bangsa dalam menterjemahkan ajaran Buddhisme secara
visual dan taktikal (tactile). Pesan dari Boddhgaya terpampang di dinding
Bhumisambharabudara, memperkaya bathin sekaligus mengantarkan kita kepada
pengalaman religius tiada bandingnya. Lalu
sebenarnya apa makna yang terkandung dibalik ketiga peristiwa yang
diperingati setiap perayaan Waisak tersebut? Mengapa seorang Buddha dilahirkan
di dunia untuk mengalami penderitaan?
Apakah yang dimaksud dengan pencapaian kesadaran Buddha di bawah pohon
boddhi tersebut? Benarkah Buddha hidup abadi, selalu hadir diantara kita
meskipun telah memasuki Nirvana?
Kelahiran
Pertapa Asita tak kuasa lagi menahan gejolak perasaannya.
Tubuhnya gemetar , air mata membasahi pipinya. Bayi mungil di pangkuan
Mahaprajapati Gautami itu perlahan lahan membuka mata menatap wajah Asita
dalam-dalam dan sebuah senyum penuh pesona tersungging di bibirnya yang indah. Melihat air mata bercucuran
di wajah Asita, Raja Suddhodhana berucap perlahan dengan penuh khawatir :
“Apakah ada sesuatu hal yang menyedihkan bakal menimpa putra ku?”. Sang pertapa
menjawab : “ Di hadapanku terdapat
seorang bayi yang memiliki kharisma yang luar biasa. Aku tahu siapa diri Nya.
Ia telah melewati kehidupan bersama ku selama berjuta-juta kalpa waktu yang tak terhingga. Ia telah
menyumbangkan jiwa raga Nya untuk melayaniku untuk sebuah tujuan hidup yang sungguh mulia .
Pada masa lalu, beliau adalah seorang raja
yang dengan penuh ketulusan melepaskan kedudukannya untuk memasuki kehidupan
suci dengan menjadi pelayan Ku. Setiap hari
Ia memetik buah, menimba air, mencari kayu bakar, menyediakan makanan
bahkan bersedia menjadikan punggung tubuhnya sebagai tempat duduk Ku.
Oh…..baginda raja, betapa besar karunia yang kau miliki . Bayi mu kelak akan
menjadi seorang Cakravartin, penguasa dari seluruh raja diraja diseluruh dunia.
Atas kehendaknya pula ia juga dapat menjadi Buddha, penguasa Dharma di seluruh jagad
Triloka alam semesta. Inilah yang
membuat diri ku sedih, karena usia ku yang sudah lanjut ini tak sanggup lagi
menyaksikan dirinya tumbuh menjadi Buddha, Tathagata Sastadevanammanusyanam, guru dari segala dewa
dan manusia”. Mendengar ramalan pertapa Asita tersebut, Raja Suddhodhana
diliputi rasa sukacita yang tak terhingga lalu memberi nama putranya Siddharta
(tercapainya tujuan) Gautama (sapi unggul).
Siddharta Gautama lahir di Taman Lumbini –kini bernama
Paderia di Selatan Nepal – dua ribu lima ratus tahun yang lalu. Ibundanya, ratu
Maya meninggal dunia tidak lama setelah melahirkan Siddharta. Bibinya,
Mahaprajapati Gautami kelak mengasuh Siddharta
muda hingga dewasa. Ayahnya, raja Suddhodhana adalah pemimpin suku bangsa
Shakya. Kerajaan kecil yang berada di
kaki gunung Himalaya dekat perbatasan India dan Nepal itu adalaah negeri yang
subur dan indah. Secara politis, negeri yang beribukota di Kapilavastu tersebut berada dibawah kekuasaan Kosala,
satu dari “Enam Belas Negara Bagian Besar” India kuno saat itu. Di sebelah
selatan, berdiri negara bagian besar
lainnya yakni Magadha.
Tumbuh sebagai pemuda cendekia dan perasa, Siddharta muda
terlihat sering merenung dan memikirkan makna kehidupan di dunia ini. Sebagai
seorang putra mahkota, dirinya banyak mendapat latihan fisik. Bakat dan ketrampilannya
menggunakan alat pertempuran sungguh
menakjubkan. Dibalik penampilannya yang rupawan, Siddharta terkenal pula
sebagai pemuda berwatak kontemplatif. Dia sering terlihat duduk bersila
bersikap meditatif sambil melihat fenomena yang terjadi disekeliling. Inilah
yang membuatnya berbeda dengan pangeran-pangeran lainnya. Meski hidup berkelimpahan
harta, hatinya gelisah. Dirinya selalu diliputi oleh pertanyaan-pertanyaan
tentang makna kelahiran, kehidupan yang dipenuhi penderitaan, kemewahan hidup, perasaan sedih atas kematian ibunda , perkawinan
dengan Yasodhara hingga kelahiran putranya Rahula.
Hal- hal inilah yang mendorong dan mempertebal keyakinannya
untuk melepaskan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan spiritual sebagai
seorang yogi. Raja Suddhodhana yang sejak awal telah mengetahui itikad putranya
berusaha menggunakan berbagai macam cara menghalangi keinginan
Siddharta. Harta yang melimpah, wanita wanita cantik, istana-istana indah serta kedudukan sebagai putra mahkota yang memiliki
kuasa tak terbatas dipersiapkan secara seksama.
Sebisa mungkin Siddharta tidak diperkenankan melihat realita kehidupan
yang sesungguhnya diluar istana. Realita kehidupan hanya akan membawa diri sang
pangeran semakin besar keinginannya
untuk memasuki dunia spiritual. Raja Suddodhana lebih menginginkan
putranya menjadi raja penguasa dunia ketimbang
menjadi Buddha.
Keinginan mulia Siddharta untuk melepaskan kehidupan duniawi
ini secara tak terduga memperoleh momentum ---yang kelak di kemudian hari dikenal sebagai “Empat
Perjumpaan”---ketika keluarga kerajaan mengadakan acara tamasya keluar istana
bagi dirinya. Pada hari pertama, ditemani kusirnya Channa, ia meliwati pintu
gerbang Timur dan terheran-heran melihat untuk pertama kalinya seorang tua
renta yang berwajah keriput berjalan terseok-seok. Ia pun bertanya kepada Channa,
gerangan apa yang sedang dialami oleh orang tersebut. Channa menjelaskan secara
gamblang mengenai masa tua yang akan dihadapi oleh semua manusia.Keesokan
harinya, ketika meliwati pintu gerbang Selatan, hatinya trenyuh melihat seorang
yang sedang meronta-ronta karena kesakitan. Kembali sang pangeran bertanya
kepada Channa dan yang pada akhirnya mengetahui tentang sakit yang pasti
dialami manusia. Pada hari ketiga, di saat memasuki pintu gerbang Barat, rasa
sedih yang mendalam menyayat hatinya
ketika melihat jenazah orang yang telah mati. Kembali Channa menjelaskan
tentang akhir kehidupan yang tak dapat dihindari manusia.
Perjumpaannya dengan orang tua,sakit, mati dan ditambah
dengan kelahiran inilah yang dalam agama Buddha dikenal sebagai “Empat
Penderitaan”. Di dalam perkembangannya “Empat Penderitaan”-lahir, tua,
sakit,mati-ini ditambah lagi dengan empat penderitaan lainnya yakni penderitaan
berpisah dengan orang yang dicintai, penderitaan bertemu dengan orang yang
dibenci, penderitaan karena tidak terpenuhinya keinginan dan penderitaan karena
ketidakseimbangan lima unsur dalam diri. Kedelapan penderitaan ini merupakan
tema sentral Buddhisme dalam mengatasi
problem fundamental menyangkut eksistensi manusia di dunia; penderitaan.
Tekad dan dorongan dalam diri yang tumbuh semakin kuat telah membawa Siddharta tiba pada saat yang
menentukkan untuk mencari jawab atas
pertanyaan besar yang menggelayuti
pikirannya selama ini. Lalu pada suatu malam, saat terakhir sebelum
meninggalkan istana, Siddharta menyempatkan diri melihat istri dan anaknya yang
sedang tidur pulas. Tahu bahwa Yasodhara akan menahan kepergiannya, Ia sengaja
tidak membangunkan tidur mereka. Siddharta yakin bahwa suatu saat nanti akan
berjumpa kembali dengan mereka.Ditemani oleh kusirnya yang setia Channa pergi
meninggalkan istana melalui pintu gerbang Selatan menuju Rajagriha, ibukota
negeri Magadha untuk menjadi siswa dua guru meditasi terkemuka saat itu, Alara
Kalama dan Uddaka Ramaputra. Di saat hampir tiba di tempat tujuan, Ia
memerintahkan Channa untuk kembali ke istana dan menyampaikan semua hal ini
kepada ayah, bibi dan istrinnya.
Diantara ke enam murid lainnya, Siddharta termasuk murid
yang cepat menguasai ilmu meditasi. Bahkan kedua guru meditasi ini sangat
terpikat dengan kemampuan Siddharta yang dalam waktu singkat mampu mengusai ilmu
setaraf dengan kedua guru terkemuka tersebut. Bahkan kedua guru meditasi ini
menawarkan posisi kepadanya sebagai penerus perguruann. Kedua-duanya ditolak
karena dirinya tidak menemukan kepuasaan dan jawaban atas pertannyaan yang
memenuhi benaknya selama ini. Akhirnya Siddharta meninggalkan kedua guru
berikut teman-teman seperguruan untuk kemudian menuju tepian sungai Nairanjana di desa
Uruvela yang terletak di luar kota Gaya, Rajagriha untuk mempraktekkan kehidupan
asketis. Sebuah praktik pertapaan yang memberlakukan disiplin ketat, keras dan ekstrim. Didalamnya
terdapat teknik suspensi pernapasan temporer yang harus mampu ditahan hingga nyaris
mendekati tepi kehidupan, berpuasa dan mengontrol pikiran. Selama 6 tahun
Siddharta terus mempraktekkan teknik
penyiksaan diri antara lain dengan cara membekuan pembuluh darah dan syaraf tubuh.
Namun usaha inipun tidak berhasil menjawab pertanyaan yang menghantui dirinya
tentang cara mengatasi penderitaan manusia.
Pencerahan
Tubuhnya menjadi kurus kering, tulang-tulang diwajah
menonjol , mata cekung dan rambut awut-awutan. Ia tersentak menyadarii
pertapaan ekstrim semacam ini tidak member pencerahan . Dalam Majjhima Nikaya, Buddha
mendeskripsikan keadaan dari bagian-bagian tubuhnya yang berubah mengerikan. Dirinya
justru menjadi terikat pada daya dan upaya yang semakin menjauhkan tujuan dalam
mencari jawaban. Akhirnya Siddharta menghentikan kegiatan asketik yang sia-sia
tersebut dan dengan susah payah menggapai tepian sungai untuk memulihkan
tubuhnya. Kelima teman pertapanya yang sebelumnya begitu percaya kepada dirinya
begitu kecewa melihat Siddharta menolak pertapaan asketik ekstrim tersebut dan
meninggalkannya dalam kesendirian.
Sujata, anak gadis pemilik tanah di desa Senanigama yang
kebetulan sedang berjalan meliwati tepian sungai itu merasa iba melihat pertapa
muda tersebut dan menawarkan secangkir air beras susu. Siddharta, yang telah mengubah gaya hidupnya,menerima dan
membantu mempercepat pemulihan tubuh Nya. Hari itu beliau menghabiskan waktu
dibawah kerimbunan pohon sala dan pada malam hari berjalan menuju pohon
Pippala(Assatha) duduk bersila dengan tekad bulat tidak akan bangun hingga
mencapai Pencerahan. Pada saat itulah
godaan dari Mara menghadang, namun dengan lantang diri Nya berhasil mengusir
Mara dan di saat purnamasidhi di bulan Vesakha (Mei) beliau mencapai Kesadaran
Buddha. Saat itu diperkirakan usia
Siddharta telah mencapai 30 tahun dan tempat dimana ia mencapai pencerahan kini dinamakan Bodhgaya. Pohon pippala
selanjutnya disebut pohon Bodhi.
Kesadaran yang dicapainya di bawah pohon bodhi adalah
tentang Hukum kehidupan yang menembus semesta, alam sekitar, manusia dan fenomena
lainnya. “Hukum” disini berarti suatu
kebenaran abadi (Dharma), dimana diri Nya tercerahkan dengan kebenaran bahwa
alam semesta merupakan entitas kehidupan dan tak ada apapun di alam semesta ini
yang terpisah dari Hukum kehidupan ini. Hukum atau Dharma ini ada secara
inheren di alam semesta raya dan bukan
kebenaran yang diciptakan oleh Nya.
Dapat digambarkan disini bahwa detik-detik sebelum pencerahan, Ia memasuki alam meditasi. Meditasi adalah suatu
upaya untuk memasuki alam bawah sadar, tempat bertemunya dua
konsep berhadapan dari subjek dan objek. Shakyamuni diperkirakan telah
memasuki kesadaran setahap lebih dalam dari alam bawah sadar ketika dirinya mengalami momen penyatuan
dengan kehidupan kosmis. Pada tahap awal meditasinya beliau menyadari bahwa
pikirannya dikelilingi oleh tubuh dan lingkungannya. Pada tahap ini beliau
masih menyadari adanya jarak antara diri dan objek sekitarnya, sehingga
dirinya mampu melihat kehidupan masa
lampaunya. Di tahap kedua meditasi mulai berlangsung, dirinya memasuki bagian
paling dalam dari pikiran, yang member Nya
kemampuan menembus penglihatan “superhuman divine eye” dari keseluruhan proses berlalu dan
dilahirkannnya kembali mahluk hidup. Di tahap akhir dari meditasi, dirinya
memasuki sebuah samudra kehidupan yang ditandai dengan hapusnya keseluruhan
jarak antara pikiran dan tubuh, diri dan lingkungan. Konsekuensinya, ia
mengalami suatu dinamika , momen ke
momen rasa kedirian dan seluruh fenomena disekitarnya bekerja membentuk dan
memecah dalam harmoni, selaras dengan irama pembentukan dan penghancuran yang
dimanifestasikan oleh kehidupan kosmis.
Sejak saat itulah Siddharta disebut sebagai Shakyamuni “Arif bijaksana dari suku bangsa
Shakya”. Disamping memperoleh gelar “Buddha”, Shakyamuni juga diberi nama gelar
lainnya seperti (2) Tathagata, (3)Sammyaksambuddha, (4)Purusadamyasaranthi,(5)Sugata, (6)Vidyasaranasampanna, (7)Lokavid, (8)Sastadevanammanusyanam,(9)Arhat (10)Lokanathati.
Shakyamuni menetap selama lima Minggu di sekitar pohon bodhi menikmati
kepuasaan bathin yang tiada taranya atas pencerahan yang diyakini mampu mengatasi
penderitaan umat manusia menuju kebahagiaan mutlak setara dengan dirinya ;
sebuah kebahagiaan atas pencapaian kesadaran Buddha. Salah satu kitab suci
Buddha menyitir tekadnya : “Aku berprasetya agar seluruh umat manusia dapat
mencapai kesadaran Buddha seperti diri Ku”.
Menyadari akan
kesadaran yang sulit dipercaya dan sulit dipahami ini, Shakyamuni sempat
bimbang dalam upaya mengkomunikasikan pencerahan tersebut kepada umat
manusia. Ia lalu menngunjungi guru-guru
meditasi dan kelima teman-teman pertapanya. Kedua guru ternyata telah wafat dan
kelima teman pertapa memandangnya dengan sebelah mata karena menganggap beliau
telah meninggalkan kehidupan asketik. Gundah gulana dan keraguan menyelimuti hati Shakyamuni, hingga suatu saat
dalam meditasi Nya , Brahmana Sahampati datang mengunjungi serta memohon agar
beliau sudi membabarkan ajaran yang
dapat mencerahkan manusia tersebut. Kisah pertemuan dengan Brahmana ini merupakan simbol keputusan Shakyamuni
untuk membabarkan pencapaian kesadaran Buddha kepada umat manusia.
Shakyamuni mengunjungi kelima teman pertapa di Rishi Patana,Benares
(Sarnath) yang saat itu merupakan tempat favorit berkumpulnya para pertapa. Di
Taman Rusa yang indah- dikemudian hari dikenal sebagai tempat “Pemutaran Roda
Dharma Pertama”-itu beliau membabarkan pencapaian kesadaran kepada teman-teman
pertapa. Dikenal sebagai Dhammacakkappavattana Sutta yang intinya menerangkan
bahwa penderitaan dan kesulitan selalu ada, akan tetapi ada pemecahan yang
memungkinkan melalui pengenalan masalah dari sumbernya. Jalan keluar dari ketidakpuasan hidup menuju
kebahagiaan sejati tersebut dirumuskan dalam suatu susunan Empat Kebenaran
Mulia yakni : (1)Kebenaran Tentang Dukkha,(2)Kebenaran Tentang Asal
Dukkha,(3)Kebenaran Tentang Akhir Dukkha,(4)Kebenaran Tentang Jalan Menuju Akhir Dukkha. Kebenaran pertama
menyatakan adanya masalah penderitaan, Kebenaran kedua menyatakan penyebab
masalah, Kebenaran ketiga menyatakan keadaan ideal tanpa masalah dan Kebenaran
keempat menyatakan bagaimana keadaan ideal itu dapat dicapai.
Kata “dukkha” dalam ajaran Buddha sesungguhnya berarti “
segala-sesuatu tidak benar-benar pas daalm hidup kita—banyak terdapat kondisi
yang tidak memuaskan dalam keberadaan kita; selalu saja ada sesuatu yang
tampaknya tidak pas”. Jadi tema “penderitaan”yang sering diangkat dalam ajaran
Buddha merujuk pada segala jenis ketidak
puasan, baik yang besar maupun yang kecil. Kebenaran tentang Dukkha yakni hidup
ini penuh dengan konflik, ketidakpuasan,
penderitaan dan kesedihan (8 jenis penderitaan). Kebenaran tentang asal dukkha menjelaskan
bahwa semua nya itu disebabkan oleh keserakahan, kemarahan dan kebodohan. Kebenaran tentanng akhir dukkha
memberikan harapan tentang emansipasi, penyelamatan dan pembebasan bagi
umat manusia atas penderitaan itu yakni
Nirvana. Kebenaran tentang jalan menuju akhir Dukkha yakni Jalan Mulia Berfaktor Delapan. Sebuah “jalan”
menuju pembebasan.
Jalan Mulia Berfaktor Delapan ini berisi segala sesuatu yang
diperlukan untuk kehidupan mulia, kejernihan pemahaman dan pencapaian
kebijaksanaan. Kedelapan faktor jalan mulia ini dapat dibagi dalam tiga aspek
sebagai berikut : Disiplin moral (Sila): (1) Perkataan Benar, (2) Perbuatan
Benar, (3) Penghidupan Benar; Pengembangan Bathin (Samadhi) : (4) Pengupayaan
Benar, (5) Penyadaran Benar, (6) Pemusatan Benar; Kebijaksanaan (Prajna) : (7)
Pandangan Benar, (8) Perniatan Benar.
Sila, Samadhi dan Prajna ini adalah
“Jalan” yang diajarkan Buddha bagi tercapainya kebahagiaan sejati dan merupakan
fondasi keimanan dalam agama Buddha. Awal pembabaran ajaran Buddha ini dimaksudkan
untuk mempersiapkan pendengarnya menuju ajaran yang setingkat lebih dalam
perihal 12 Hukum Musabab Yang Saling Bergantung (paticcasamuppada); bahwa
kehidupan dan dunia ini dibangun oleh serangkaian hubungan, yang mana
kemunculan dan lenyapnya suatu faktor tergantung pada beberapa faktor lain yang
mengondisikannya (hal inilah yang menjelaskan bagaimana kelahiran berulang bisa
terjadi).
Di tahap berikutnya,
Buddha membabarkan jalan mencapai
Kebahagiaan Sejati atau Pencerahan tersebut dengan menjelaskan 3 aspek
Kebenaran yang menguraikan tentang sifat
sejati segala sesuatu, dimana semua keberadaan yang berkondisi terpengaruh
olehnya. Ketiga aspek kebenaran ini
harus disadari untuk membantu kita menerima kenyataan di seluruh kehidupan
walaupun berbeda ruang dan waktu. 3 kebenaran tersebut secara fundamental
menyatu dan tak terpisahkan.
Pertama, aspek kebenaran tentang eksistensi temporer (impermanen),
dimana lahir maupun bathin, pikiran atau perasaan selalu mengalami perubahan.
Tidak pernah tetap atau sama, tidak ada yang permanen. Segala sesuatu terus
menerus berubah, karena sebab-sebab dan kondisi yang membentuknya juga selalu
berubah (Annica). Dengan menyadari
bahwa segala sesuatu di alam semesta ini
bersifat temporer dan secara konstan selalu berubah, maka diri terbebaskan dari
belenggu keterikatan , terbebas dari ilusi dan hawa nafsu.
Selanjutnya adalah aspek kebenaran tanpa inti (non-substansial) yakni segala
fenomena tidak memiliki eksistensi absolut
; hampa/kosong (Shunyata), sesuatu yang dapat
dipahami antara ada dan tiada. Segala sesuatu tersusun dari komponen atau unsur-unsur
yang selalu berubah, saling berhubungan dan saling bergantungan satu sama lain.
Tidak ada satupun yang dapat berdiri sendiri sebagai suatu “inti diri” (Anatta)yang
terpisah. Orang yang tidak menyadari kebenaran ini hidupnya akan dikuasai sikap
“aku-punyaku-milikku” karena tidak dapat melepaskan ego yang selalu
mementingkan diri sendiri. Egoisme yang membawa dirinya selalu dalam keadaan
terancam oleh orang lain atau situasi tertentu.
Terakhir, adalah
Jalan Tengah yang merupakan sifat dasar dari keberadaan. Segala fenomena yang
mengandung aspek eksistensi temporer(Annica) dan aspek kebenaran tanpa inti(Shunyata)
adalah Jalan Tengah. Secara esensi Jalan
Tengah ini memiliki makna yang jauh dan
mendalam, melampaui kata-kata maupun konsepsi. Ditandai punahnya segala konsep
pemikiran, hilangnya dualisme dan teratasinya segala ekstrem. Melampaui kelahiran dan
kematian, kekal dan tidak kekal, diri dan tiada diri. Dengan memahami kebenaran
ini, maka diri dapat mengenyahkan
kategori terakhir dari ilusi, yakni ilusi tentang sifat dasar dari
kehidupan sejati, yang dapat menghambat seseorang mencapai pencerahan.
Ketidaktahuan (avidya) tentang sifat dasar keberadaan ini adalah sumber dari
seluruh ilusi dan hawa nafsu. Hal mana merupakan penghambat terbesar dalam
menyadari realitas gaib dari segala sesuatu, karena terpisahnya diri dengan
yang lain.
Dengan menerangkan
ketiga aspek kebenaraan tersebut, Buddha menjelaskan makna keberadaan diri
serta kaitannya dengan alam semesta raya, mengidentifikasi sumber penderitaan
serta sekaligus membuka jalan bagi tercapainya kesadaran Buddha bagi seluruh
umat manusia. Siapapun yang menyadari kebenaran hakiki ini dapat mencapai
kesadaran Buddha.
Kaundiya, salah seorang dari kelima pertapa menjadi orang
pertama yang mampu memahami ujaran Sang Buddha dan ke empat pertapa lainnya
turut percaya dan menyatakan diri bergabung dalam sebuah Ordo Buddhisme yang
merupakan cikal bakal terbentuknya Sangha (kumpulan para Bhikksu), salah satu
daari tiga pusaka (Tri Ratna) keimanan dalam Buddhisme: Buddha, Dharma, Sangha.
Di Taman Rusa inilah Yasha, putra salah seorang saudagar kaya dan 60 orang
lainnya menyatakan diri menjadi
pengikut beliau. Dalam perjalanan
kembali ke Buddhagaya, Shakyamuni
berjumpa dengan tiga bersaudara pemimpin aliran pertapaan asketik
Brahmana-Uruvela Kashyapa, Nadi Kashyapa dann Gaya Kashyapa- bersama seribu
orang pengikutnya menjadi pemeluk Buddha. Bersama dengan seribu pengikut baru
tersebut, Shakyamuni mengunjungi Rajagriha untuk bertemu dengan Raja Bimbisara
yang kemudian menyumbangkan sebuah bangunan yang disebut Vihara Hutan Bambu. Di
Rajagriha ini pula, Shariputra dan Maudgalyayana---kelak menjadi murid
terkemuka Sang Buddha---bersama pimpinan mereka, Sanjaya dan dua ratus lima
puluh pengikutnya melepaskan keyakinan sebelumnya sebagai pengikut Brahmanisme
menjadi pengikut Buddha.
Shakyamuni juga mengunjungi Shravasti yang merupakan ibukota
kerajaan Kosala. Lalu Vaishali ibukota suku bangsa Vrijji dan Khausambi ibukota
suku bangsa Vatsa. Selain Vihara Hutan Bambu, maka tempat-tempat favorit Buddha
adalah Saptaparna Guha (Goa Tujuh Daun), Gridhrakuta(Tempat pembabaran
Saddharma Pundarika Sutra), dan Vihara Jetavana yang dibangun oleh Sudatta atau
dikenal sebagai Anatha Pindada (Si penyuplai
kebutuhan). Vihara Jetavana digunakan
Shakyamuni sebagai tempat retret di kala musim hujan yang biasanya memakan
waktu tiga bulan. Prasenajit, Raja Kosala juga masuk kedalam agama Buddha
bersama istrinya, Ratu Malika. Begitupula Ajatasathru putra Raja Bimbisara
bersama-sama dengan Maha Kashyapa yang kelak akan menjadi penerus ordo Buddhis setelah wafatnya Sang Buddha.
Dalam perjalanan pembabaran ajaran ini beliau juga kembali mengunjungi
Kapilavastu bertemu putranya Rahula, Nanda, sepupunya Ananda, Aniruddha, Devadatta
dan seorang pemangkas rambut bernama Upalli.
Mereka semua termasuk raja Suddodhana berikut bibinya, Mahaprajapati
Gautami juga diterima sebagai pemeluk
Buddha. Di sebelah Barat India, Mahakatsyayana dari negeri Avanti ikut
menyebarluaskan Dharma , Purna ikut membabarkan ajaran di Sunaparranta yang
terletak di Selatan Bombay, India Barat.
Masuk Nirvana
Shakyamuni wafat di usia delapan puluh tahun. Pada delapan
tahun terakhir sebelum wafatnya, beliau tinggal di Gridhrakuta, Rajagriha-Magadha.
Di Gridhrakuta inilah beliau membabarkan ajaran tentang pencapaian kesadaran
Buddha bagi setiap manusia yang ajarannya ditulis dalam Sutra(kitab suci)
Saddharma Pundarika Sutra. Bersama-sama dengan Amitarta Sutra sebagai pembuka
dan Nirvana Sutra sebagai penutup.Hingga saat-saat akhir hidupnya, Shakyamuni
terus menerus melakukan perjalanan
pembabaran Dharma.
Beliau sempat
mengunjungi Nalanda di desa Patali dan melihat rencana pembangunan istana yang
menggambarkan kemakmuran desa tersebut. Ia juga sering menyeberangi sungai
Gangga menuju Vaishali, ibukota suku bangsa Vrijji. Di tempat ini Ambapali
menyumbang hutan mangga kepada ordo Buddhis. Lalu melanjutkan perjalanan ke
Beluva di luar Vaishali dan mengalami sakit parah. Di tempat bernama Mala,
Shakayamuni mengalami pendarahan karena diare akut setelah menerima makanan
yang diberikan Chunda, pandai besi desa tersebut.
Mengenyampingkan rasa
sakitnya ia tiba di Kushinagara. Di
rumpun pohon Sal di luar kota, Shakyamuni membaringkan dirinya dengan tenang.
Ditopang dengan tubuh bagian kanannya dan kepala menghadap Utara beliau
mengucapkan kata-kata terakhir kepada murid-muridnya : “ Kalian tidak boleh
berpikir bahwa kata-kata guru mu telah tiada dan merasa ditinggalkan tanpa
seorang guru. Ajaran dan Sila yang telah
Ku babarkan haruslah menjadi guru mu”. Kata-kata terakhir lainnya yang
terkenal adalah : “Oleh karenanya, kalian harus menjadi pelita bagi diri mu
sendiri. Jadikan diri mu sebagai tempat perlindungan. Janganlah mencari
perlindungan di luar dirimu. Peganglah Dharma sebagai pelita dan jangan mencari
perlindungan kepada apapun selain diri mu sendiri”.
Shakyamuni menghembuskan nafas terakhir. Jazadnya diterima
oleh suku bangsa Malla di Kushinagara dan di kremasi tujuh hari kemudian.
Abunya dibagi delapan, antara lain kepada
Ajatasathru, raja Magadha. Kaum Licchavis di Vaishali, suku bangsa
Shakya di Kapilavastu . Stupa-stupa didirikan di seluruh India untuk
menyemayamkan relik(salira) Sang Buddha.
MAKNA TIGA PERISTIWA
Shakyamuni, sebagai manusia biasa memperlihatkan kepada
kita bahwa sekalipun
pada kehidupan masa lampaunya telah menjalankan pertapaan dan mencapai
kesadaran Buddha, dirinya tidak serta merta dilahirkan dengan keistimewaan
bebas dari penderitaan. Beliau menikah
dan memiliki seorang putra layaknya manusia pada umumnya, terdiri dari darah dan daging, memiliki nafsu
keinginan dan naluri yang dibutuhkan
bagi perkembangan kehidupan. Beliau tidak dilahirkan sebagai seorang
“Buddha” namun sebagai manusia pada umumnya, menjalankan pertapaan seperti
pertapa-pertapa yogi lainnya, seperti
seorang penganut keagamaan yang tulus. Alasannya jelas, dibutuhkan perjuangan
untuk mencapai pencerahan sekaligus
memperlihatkan bahwa sifat Buddha(Buddha nature) yang ada di dalam
diri Sang Buddha pada hakikatnya sama dengan yang ada di dalam diri manusia
biasa lainnya. Dengan kata lain, siapapun dapat mencapai kesadaran Buddha. Kesadaran
Buddha tidak hanya berupa suatu potensi namun juga sesuatu kenyataan yang dapat
diwujudkan.
Shakyamuni Buddha memilih senantiasa tinggal di “dunia” ini
yang dianggap kotor dan fana untuk menyangkal pemahaman keliru bahwa Buddha
tidak lahir dan hidup di dunia ini. Dunia tempat dimana kita hidup ini dalam
bahasa Sansekerta disebut “Saha” yang
diartikan sebagai tahan; menahan kepedihan atas penderitaan. Ada aliran yang
meyakini bahwa Buddha bermukim di sebelah Barat dari alam semesta , di suatu
tempat yang disebut Tanah Suci dari Kebahagiaan Agung(Sukhavati). Atau Buddha
yang tinggal di Kerajaan Sebelah Timur dari alam semesta raya dengan sebutan
seperti Dunia Zamrud Suci dan Dunia Pusaka Teratai. “Dunia” ini adalah tempat
Shakyamuni mencapai Kesadaran Buddha, tidak dalam kehidupan lain atau setelah
kematiannya tetapi justru di dalam masa
kehidupan saat ini dan di dunia yang nyata ini. Hal ini mengandung arti bahwa
Shakyamuni mengajarkan kepada kita untuk tidak mencari kebahagiaan di luar diri
kita sendiri tetapi justru ada di dalam diri kita.
Buddha menginginkan umat manusia membuang seluruh
tujuan-tujuan yang tak bernilai atau keterikatan –keterikatan pada hal-hal di luar dirinya.Seluruh fenomena
di dunia ini tidaklah pasti dan berlalu dengan cepat. Pusaran keanekaragaman
yang berada disekitar kehiduupan memiliki kekuatan yang mampu mempengaruhi umat manusia.
Nafsu-nafsu keduniawian manusia yang dirangsang oleh panca
indera-mata,hidung,telinga,lidah dan kulit-menghanyutkan perasaan manusia,
membuat nya cenderung kehilangan kontrol atas dirinya. Dengan mencari
kesenangan-kesenangan rendah untuk memuaskan nafsu-nafsu tersebut manusia mudah
tersesat dari tujuan kehidupan sejati
dan jatuh kedalam penderitaan yang berat. Mereka membayangkan hal-hal
keduniawian akan membawa kebahagiaan, ingin memilikinya dan memegang
selama-lamanya. Kekayaan, reputasi,
kekuasaan membawa manusia dalam
perlombaan keserakahan, kemarahan, kebodohan yang berlebihan. Suatu
perlombaan yang tidak mampu memenuhi
kepuasan abadi, yang pemenangnya hanya
segelintir orang dan hasil akhirnya lebih banyak menimbulkan kekecewaan kepada
seseorang dan lainnya.
Shakyamuni menyadarkan manusia dan kedangkalan hidup mereka
yang cenderung hanyut oleh tingkah laku
dan nafsu-nafsu naluri tanpa dapat mengendalikannya. Untuk itu ia mengajarkan
agar manusia dapat melepaskan keterikatan-keterikatan dengan memahami kebenaran
sejati dari segala fenomena di alam semesta raya. Kebenaran sejati bahwa segala
sesuatu di alam semesta ini bersifat sementara
dan oleh karenanya selalu berubah dan tidak memiliki inti diri yang
membuatnya tak abadi. Hanya dengan memahami Kebenaran sejati ini manusia akan
terlepas dari keterikatannya pada hawa
nafsu dan ilusi. Namun demikian bukan berarti Buddha mengajarkan penyangkalan
atas adanya hawa nafsu dalam diri yang justru dibutuhkan dalam mempertahankan hidup. Melalui berbagai kesempatan beliau
mengajarkan bagaimana mengembangkan kearifan
untuk memilah-milah mana keterikatan yang masih bersifat wajar serta
kecakapan untuk memutuskan mana diantaranya nafsu-nafsu yang bernilai positif
dan yang destruktif.
Untuk itu setelah
membabarkan Empat Kebenaran Mulia di Taman Rusa itu, beliau melanjutkan kembali
pembabaran ajaran berikutnya dalam
sebuah rumus yang sistematik dan lengkap untuk lepas dari ketidakpuasan dan
mencapai kebahagiaan sejati yakni Jalan
Mulia Berfaktor Delapan. Jalan ini diperlukan untuk kehidupan mulia, kejernihan
pemahaman dan pencapaian kebijaksanaan agar terhindar dari dua kutub ekstrim , pemanjaan diri ataupun
penyiksaan diri; dua ekstrim yang pernah dilakoni di masa mudanya.
Hingga wafat di usia delapan puluh tahun, selama 50 tahun
Shakyamuni mencurahkan waktunya untuk membimbing manusia dengan penuh Maitri
Karuna(welas asih). Sebagai seorang
Guru, beliau secara sistematis mempersiapkan murid-muridnya secara bertahap
untuk satu tujuan sesuai dengan prasetya yang telah diucapkannya : “Untuk
membimbing umat manusia mencapai Kesadaran Buddha sama seperti diri Ku”. Delapan
tahun terakhir sebelum kemokshaannya, di puncak gunung Gridhrakuta (puncak
garuda), Shakyamuni Buddha membabarkan ajaran terakhir tentang
dimungkinkannya setiap manusia mencapai kesadaran Buddha dan
kekekalabadian Buddha di ketiga masa-lalu,sekarang,mendatang. Tentang kekekalabadian jiwa Buddha ini beliau
menegaskan : “Aku membiarkan umat
tidak dapat melihat Aku, meskipun aku berada di dekatnya menyaksikan Nirvana ku, sebagai suatu cara
untuk menyelamatkan mereka, tetapi sesungguhnya aku tidak moksha dan senantiasa
berada disini mengajarkan Dharma. Aku senantiasa berada disini, namun karena
kekuatan gaib Ku, orang-orang tersesat” (Saddharma
Pundarika Sutra).
Hal ini memastikan keberlangsungan jiwa secara abadi, dari
kehidupan saat ini menuju kehidupan yang akan datang. Shakyamuni menganggap kemokshaannya sebagai
suatu cara, dalam upayanya untuk menyelamatkan orang-orang yang tidak berkesadaran. Kelahiran dan kematian adalah
tahapan alami dari sebuah kehidupan jiwa yang kekal abadi. Semua mengalami perputaran kelahiran kembali dan kematian secara berkesinambungan.
Setelah kematian, jiwa akan melebur kembali dalam keterpaduan dengan jiwa alam
semesta. Kelahiran dan kematian adalah segi dasar dari keberadaan (eksistensi)
manusia, juga merupakan cara dimana arus keabadian jiwa “menyatakan” dirinya. Manusia yang belum saadar mengalami
penderitaan karena menganggap kehidupan dimulai
pada saat kelahiran dan rampung di saat ajal. Manusia yang telah
mencapai Kesadaran Buddha adalah yang menyadari intisari kehidupan dan fenomena
dari kelahiran dan kematian sebagai suatu tahap dari kekekalabadian. Jiwa
tidaklah lenyap atau berubah menjadi apa-apa pada kematian. Pada kematian, jiwa
akan melebur dengan kehidupan jiwa alam semesta yang lebih besar dan memasuki keadaan keterpaduan
yang disebut sebagai “Shunyata”. Jiwa
akan terlahir kembali apabila suasana dan syarat-syaratnya tepat.
Ketika umat manusia memahami secara tepat aspek kebenaran
kehidupan kejiwaan dan segala fenomena
lainnya, maka suatu kehidupan jiwa yang terisi penuh dengan kebahagiaan sejati
terbentang dihadapan . Itulah pencapaian Kesadaran Buddha yang sesungguhnya, seperti terungkap dalam
kata-kata Buddha dalam Kitab Suci Saddharma Pundarika Sutra ini : “ Ketika umat
manusia menyaksikan kemokshaanku, mereka tersebar luas menghormati peninggalan ku, mereka akan
memiliki pikiran-pikiran yang mendambakan, dan di dalam hati mereka akan
terlahir suatu pendambaan akan aku. Ketika mereka sungguh-sungguh berkeyakinan,
jujur dan terus terang, lembut dalam pikirannya, dengan penuh kesungguhan
hati mendambakan melihat Sang Buddha,
bersedia menyerahkan jiwa raganya untuk itu, maka aku beserta pesamuan para Sangha
akan muncul bersama di atas puncak Gridhrakuta”.
SELAMAT HARI RAYA WAISAK.
Tangerang, Mei 2011.