Sabtu, 24 September 2011


 PESAN BODHGAYA DI BHUMISAMBHARABUDARA.


 Umbul-umbul berkepakan ditiup angin. Kibaran bendera penuh semburat warna menambah ceria suasana .Di kejauhan terdengar alunan suara pembacaan parita-parita. Diiringi denting bunyi-bunyian  bel,  tercium wewangian dupa yang menyusup keluar  membumbung tinggi hingga ke langit biru. Didalam  tenda-tenda tempat doa dipanjatkan, para Bhikksu memimpin upacara dalam jubah aneka warna. Berbeda namun tetap dalam bingkai dan semangat kebersamaan melaksanakan ajaran Sang Buddha. Sebuah ritus dan pemandangan yang berulang di pelataran sebuah candi. Perayaan keagamaan yang menjadi katup pelepas kepenatan setelah setahun hidup didera perjuangan penuh kompetisi, keinginan untuk menemukan kembali ruang dan waktu yang hilang ditelan kesibukan inderawi.  Mengisi kembali energi yang telah habis terbuang ,berhamburan dalam kenikmatan hiburan tak berarti. Perayaan Waisak, sebuah momen selebrasi sekaligus kontemplasi untuk menggali, mencari, memaknai kembali ketiga peristiwa agung yang mewarnai perjalanan hidup Sang Buddha. 


Di latar belakang dari pelataran tempat upacara, sebuah bangunan setinggi 40 meter menjulang ke angkasa. Gunadarma, sang arsitek membutuhkan waktu 20 tahun  untuk merancang, membimbing dan mempersiapkan segala kebutuhan sebelum membangun monumen yang paling impresif di dunia, yang pernah dibangun oleh umat manusia. 73 Stupa di teras berbentuk lingkaran, 1.500 panel kisah kehidupan Siddharta  di teras berbentuk segi empat, yang mengisahkaan inkarnasi  kehidupan lalunya, sebagai Boddhisatva Sudhana, dari putra mahkota menjadi  Buddha hingga saat-saat akhirnya memasuki  Nirvana.  Sekitar 2.000.000 kubik kaki batu, dan termasuk 2.600 meter persegi  relief  digunakan untuk menyusun sebuah ilustrasi teks Mahayana , khususnya teks Gandavyuha--- kisah tentang peziarah yang tekun dalam upayanya untuk memperoleh pencerahan---sebuah exposisi  raksasa tentang kerinduan dan penghormatan raja Sailendra (800 SM)  kepada Sang Buddha.


Mimpi  besar, keyakinan yang mendalam dan kesabaran membangun selama hampir seabad memperoleh imbalannya. Bhumisambharabudara. ‘ gunung terkumpulnya kebajikan dari pelaksanaan sepuluh tahap keboddhisatvaan’ terwujud sudah. Dibangun diatas dataran tinggi Kedu yang amat subur, Bhumisambharabudara yang kemudian hari lebih dikenal sebagai  Borobudur dapat pula dipandang sebagai mandala yang mencerminkan filosofi  triloka, tiga pembagian  alam semesta. Keseluruhan bangunan dipersembahkan dalam bentuk  simbolisasi transisi Buddhis dari manifestasi kehidupan yang paling rendah, dikendalikan naluri dalam keseharian (kamadhatu), selanjutnya melalui berbagai tahapan pertapaan spiritual yang lebih tiinggi dari duniawi(rupadhatu) menuju kondisi puncak dari  pencerahan spiritual (arupadhatu) lepas dari keterikatan hawa nafsu dan ilusi. 


Kini, 2.500 tahun setelah kemokshaan Nya, setiap tahun umat Buddha di seluruh dunia memperingati ketiga peristiwa---kelahiran, pencerahan, masuk Nirvana---dalam perjalanan hidup Sang Buddha di saat purnamasidhi pada bulan Vaisakha (April-Mei). Sebuah berkah tersendiri bagi umat Buddha khususnya di Indonesia  dapat mengikuti puncak perayaanya di lokasi yang monumental; Borobudur. Sebuah bangunan arsitektur maha karya orisinal anak bangsa dalam menterjemahkan ajaran Buddhisme secara visual dan taktikal (tactile). Pesan dari Boddhgaya terpampang di dinding Bhumisambharabudara, memperkaya bathin sekaligus mengantarkan kita kepada pengalaman religius tiada bandingnya.  Lalu sebenarnya  apa makna  yang terkandung dibalik ketiga peristiwa yang diperingati setiap perayaan Waisak tersebut? Mengapa seorang Buddha dilahirkan di dunia untuk mengalami penderitaan?  Apakah yang dimaksud dengan pencapaian kesadaran Buddha di bawah pohon boddhi tersebut? Benarkah Buddha hidup abadi, selalu hadir diantara kita meskipun telah memasuki Nirvana?  


Kelahiran


Pertapa Asita tak kuasa lagi menahan gejolak perasaannya. Tubuhnya gemetar , air mata membasahi pipinya. Bayi mungil di pangkuan Mahaprajapati Gautami itu perlahan lahan membuka mata menatap wajah Asita dalam-dalam dan sebuah senyum penuh pesona tersungging di  bibirnya yang indah. Melihat air mata bercucuran di wajah Asita, Raja Suddhodhana berucap perlahan dengan penuh khawatir : “Apakah ada sesuatu hal yang menyedihkan bakal menimpa putra ku?”. Sang pertapa menjawab : “ Di hadapanku  terdapat seorang bayi yang memiliki kharisma yang luar biasa. Aku tahu siapa diri Nya. Ia telah melewati kehidupan bersama ku selama berjuta-juta  kalpa waktu yang tak terhingga. Ia telah menyumbangkan jiwa raga Nya untuk melayaniku  untuk sebuah tujuan hidup yang sungguh mulia . Pada masa lalu, beliau adalah seorang  raja yang dengan penuh ketulusan melepaskan kedudukannya untuk memasuki kehidupan suci dengan menjadi pelayan Ku. Setiap hari  Ia memetik buah, menimba air, mencari kayu bakar, menyediakan makanan bahkan bersedia menjadikan punggung tubuhnya sebagai tempat duduk Ku. Oh…..baginda raja, betapa besar karunia yang kau miliki . Bayi mu kelak akan menjadi seorang Cakravartin, penguasa dari seluruh raja diraja diseluruh dunia. Atas kehendaknya pula ia juga dapat menjadi  Buddha, penguasa Dharma di seluruh jagad Triloka alam semesta.  Inilah yang membuat diri ku sedih, karena usia ku yang sudah lanjut ini tak sanggup lagi menyaksikan dirinya tumbuh menjadi Buddha, Tathagata  Sastadevanammanusyanam, guru dari segala dewa dan manusia”. Mendengar ramalan pertapa Asita tersebut, Raja Suddhodhana diliputi rasa sukacita yang tak terhingga lalu memberi nama putranya Siddharta (tercapainya tujuan) Gautama (sapi unggul).


Siddharta Gautama lahir di Taman Lumbini –kini bernama Paderia di Selatan Nepal – dua ribu lima ratus tahun yang lalu. Ibundanya, ratu Maya meninggal dunia tidak lama setelah melahirkan Siddharta. Bibinya, Mahaprajapati Gautami  kelak mengasuh Siddharta muda hingga dewasa. Ayahnya, raja Suddhodhana adalah pemimpin suku bangsa Shakya. Kerajaan kecil  yang berada di kaki gunung Himalaya dekat perbatasan India dan Nepal itu adalaah negeri yang subur dan indah. Secara politis, negeri yang beribukota di Kapilavastu  tersebut berada dibawah kekuasaan Kosala, satu dari “Enam Belas Negara Bagian Besar” India kuno saat itu. Di sebelah selatan, berdiri  negara bagian besar lainnya yakni Magadha.
Tumbuh sebagai pemuda cendekia dan perasa, Siddharta muda terlihat sering merenung dan memikirkan makna kehidupan di dunia ini. Sebagai seorang putra mahkota, dirinya banyak mendapat latihan fisik. Bakat dan ketrampilannya menggunakan alat pertempuran  sungguh menakjubkan. Dibalik penampilannya yang rupawan, Siddharta terkenal pula sebagai pemuda berwatak kontemplatif. Dia sering terlihat duduk bersila bersikap meditatif sambil melihat fenomena yang terjadi disekeliling. Inilah yang membuatnya berbeda dengan pangeran-pangeran lainnya. Meski hidup berkelimpahan harta, hatinya gelisah. Dirinya selalu diliputi oleh pertanyaan-pertanyaan tentang makna kelahiran, kehidupan yang dipenuhi  penderitaan, kemewahan hidup, perasaan  sedih atas kematian ibunda , perkawinan dengan Yasodhara hingga kelahiran putranya Rahula. 


Hal- hal inilah yang mendorong dan mempertebal keyakinannya untuk melepaskan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan spiritual sebagai seorang yogi. Raja Suddhodhana yang sejak awal telah mengetahui itikad putranya berusaha  menggunakan  berbagai macam cara menghalangi keinginan Siddharta. Harta yang melimpah, wanita wanita cantik, istana-istana indah  serta kedudukan sebagai putra mahkota yang memiliki kuasa tak terbatas dipersiapkan secara seksama.  Sebisa mungkin Siddharta tidak diperkenankan melihat realita kehidupan yang sesungguhnya diluar istana. Realita kehidupan hanya akan membawa diri sang pangeran semakin besar keinginannya  untuk memasuki dunia spiritual. Raja Suddodhana lebih menginginkan putranya  menjadi raja penguasa dunia ketimbang menjadi Buddha.


Keinginan mulia Siddharta untuk melepaskan kehidupan duniawi ini secara tak terduga memperoleh momentum ---yang  kelak di kemudian hari dikenal sebagai “Empat Perjumpaan”---ketika keluarga kerajaan mengadakan acara tamasya keluar istana bagi dirinya. Pada hari pertama, ditemani kusirnya Channa, ia meliwati pintu gerbang Timur dan terheran-heran melihat untuk pertama kalinya seorang tua renta yang berwajah keriput berjalan terseok-seok. Ia pun bertanya kepada Channa, gerangan apa yang sedang dialami oleh orang tersebut. Channa menjelaskan secara gamblang mengenai masa tua yang akan dihadapi oleh semua manusia.Keesokan harinya, ketika meliwati pintu gerbang Selatan, hatinya trenyuh melihat seorang yang sedang meronta-ronta karena kesakitan. Kembali sang pangeran bertanya kepada Channa dan yang pada akhirnya mengetahui tentang sakit yang pasti dialami manusia. Pada hari ketiga, di saat memasuki pintu gerbang Barat, rasa sedih  yang mendalam menyayat hatinya ketika melihat jenazah orang yang telah mati. Kembali Channa menjelaskan tentang akhir kehidupan yang tak dapat dihindari manusia. 


Perjumpaannya dengan orang tua,sakit, mati dan ditambah dengan kelahiran inilah yang dalam agama Buddha dikenal sebagai “Empat Penderitaan”. Di dalam perkembangannya “Empat Penderitaan”-lahir, tua, sakit,mati-ini ditambah lagi dengan empat penderitaan lainnya yakni penderitaan berpisah dengan orang yang dicintai, penderitaan bertemu dengan orang yang dibenci, penderitaan karena tidak terpenuhinya keinginan dan penderitaan karena ketidakseimbangan lima unsur dalam diri. Kedelapan penderitaan ini merupakan tema sentral Buddhisme  dalam mengatasi problem fundamental menyangkut eksistensi manusia di dunia; penderitaan.  


Tekad dan dorongan dalam diri yang tumbuh semakin kuat  telah membawa Siddharta tiba pada saat yang menentukkan  untuk mencari jawab atas pertanyaan besar  yang menggelayuti pikirannya selama ini. Lalu pada suatu malam, saat terakhir sebelum meninggalkan istana, Siddharta menyempatkan diri melihat istri dan anaknya yang sedang tidur pulas. Tahu bahwa Yasodhara akan menahan kepergiannya, Ia sengaja tidak membangunkan tidur mereka. Siddharta yakin bahwa suatu saat nanti akan berjumpa kembali dengan mereka.Ditemani oleh kusirnya yang setia Channa pergi meninggalkan istana melalui pintu gerbang Selatan menuju Rajagriha, ibukota negeri Magadha untuk menjadi siswa dua guru meditasi terkemuka saat itu, Alara Kalama dan Uddaka Ramaputra. Di saat hampir tiba di tempat tujuan, Ia memerintahkan Channa untuk kembali ke istana dan menyampaikan semua hal ini kepada ayah, bibi dan istrinnya. 

Diantara ke enam murid lainnya, Siddharta termasuk murid yang cepat menguasai ilmu meditasi. Bahkan kedua guru meditasi ini sangat terpikat dengan kemampuan Siddharta yang dalam waktu singkat mampu mengusai ilmu setaraf dengan kedua guru terkemuka tersebut. Bahkan kedua guru meditasi ini menawarkan posisi kepadanya sebagai penerus perguruann. Kedua-duanya ditolak karena dirinya tidak menemukan kepuasaan dan jawaban atas pertannyaan yang memenuhi benaknya selama ini. Akhirnya Siddharta meninggalkan kedua guru berikut teman-teman seperguruan untuk kemudian  menuju tepian sungai Nairanjana di desa Uruvela yang terletak di luar kota Gaya, Rajagriha untuk mempraktekkan kehidupan asketis. Sebuah praktik pertapaan yang memberlakukan  disiplin ketat, keras dan ekstrim. Didalamnya terdapat teknik suspensi pernapasan temporer  yang harus mampu ditahan hingga nyaris mendekati tepi kehidupan, berpuasa dan mengontrol pikiran. Selama 6 tahun Siddharta  terus mempraktekkan teknik penyiksaan diri antara lain dengan cara membekuan pembuluh darah dan syaraf tubuh. Namun usaha inipun tidak berhasil menjawab pertanyaan yang menghantui dirinya tentang cara mengatasi penderitaan manusia.


Pencerahan


Tubuhnya menjadi kurus kering, tulang-tulang diwajah menonjol , mata cekung dan rambut awut-awutan. Ia tersentak menyadarii pertapaan ekstrim semacam ini tidak member  pencerahan . Dalam Majjhima Nikaya, Buddha mendeskripsikan keadaan dari bagian-bagian tubuhnya yang berubah mengerikan. Dirinya justru menjadi terikat pada daya dan upaya yang semakin menjauhkan tujuan dalam mencari jawaban. Akhirnya Siddharta menghentikan kegiatan asketik yang sia-sia tersebut dan dengan susah payah menggapai tepian sungai untuk memulihkan tubuhnya. Kelima teman pertapanya yang sebelumnya begitu percaya kepada dirinya begitu kecewa melihat Siddharta menolak pertapaan asketik ekstrim tersebut dan meninggalkannya dalam kesendirian.


Sujata, anak gadis pemilik tanah di desa Senanigama yang kebetulan sedang berjalan meliwati tepian sungai itu merasa iba melihat pertapa muda tersebut dan menawarkan secangkir  air beras susu. Siddharta, yang  telah mengubah gaya hidupnya,menerima dan membantu mempercepat pemulihan tubuh Nya. Hari itu beliau menghabiskan waktu dibawah kerimbunan pohon sala dan pada malam hari berjalan menuju pohon Pippala(Assatha) duduk bersila dengan tekad bulat tidak akan bangun hingga mencapai Pencerahan.  Pada saat itulah godaan dari Mara menghadang, namun dengan lantang diri Nya berhasil mengusir Mara dan di saat purnamasidhi di bulan Vesakha (Mei) beliau mencapai Kesadaran Buddha.  Saat itu diperkirakan usia Siddharta telah mencapai 30 tahun dan tempat dimana ia mencapai pencerahan  kini dinamakan Bodhgaya. Pohon pippala selanjutnya disebut pohon Bodhi. 


Kesadaran yang dicapainya di bawah pohon bodhi adalah tentang Hukum kehidupan yang menembus semesta, alam sekitar, manusia dan fenomena lainnya.  “Hukum” disini berarti suatu kebenaran abadi (Dharma), dimana diri Nya tercerahkan dengan kebenaran bahwa alam semesta merupakan entitas kehidupan dan tak ada apapun di alam semesta ini yang terpisah dari Hukum kehidupan ini. Hukum atau Dharma ini ada secara inheren  di alam semesta raya dan bukan kebenaran yang diciptakan  oleh Nya.

Dapat digambarkan disini bahwa  detik-detik sebelum pencerahan, Ia  memasuki alam meditasi. Meditasi adalah suatu upaya untuk memasuki alam bawah sadar, tempat bertemunya  dua  konsep berhadapan dari subjek dan objek. Shakyamuni diperkirakan telah memasuki kesadaran setahap lebih dalam dari  alam  bawah sadar ketika dirinya mengalami momen penyatuan dengan kehidupan kosmis. Pada tahap awal meditasinya beliau menyadari bahwa pikirannya dikelilingi oleh tubuh dan lingkungannya. Pada tahap ini beliau masih menyadari adanya jarak antara diri dan objek sekitarnya, sehingga dirinya  mampu melihat kehidupan masa lampaunya. Di tahap kedua meditasi mulai berlangsung, dirinya memasuki bagian paling dalam dari pikiran, yang member Nya  kemampuan menembus penglihatan “superhuman divine eye”  dari keseluruhan proses berlalu dan dilahirkannnya kembali mahluk hidup. Di tahap akhir dari meditasi, dirinya memasuki sebuah samudra kehidupan yang ditandai dengan hapusnya keseluruhan jarak antara pikiran dan tubuh, diri dan lingkungan. Konsekuensinya, ia mengalami  suatu dinamika , momen ke momen rasa kedirian dan seluruh fenomena disekitarnya bekerja membentuk dan memecah dalam harmoni, selaras dengan irama pembentukan dan penghancuran yang dimanifestasikan oleh kehidupan kosmis.   


Sejak saat itulah Siddharta disebut  sebagai  Shakyamuni “Arif bijaksana dari suku bangsa Shakya”. Disamping memperoleh gelar “Buddha”, Shakyamuni juga diberi nama gelar lainnya seperti (2) Tathagata, (3)Sammyaksambuddha, (4)Purusadamyasaranthi,(5)Sugata, (6)Vidyasaranasampanna, (7)Lokavid, (8)Sastadevanammanusyanam,(9)Arhat (10)Lokanathati.   Shakyamuni menetap selama lima Minggu di sekitar pohon bodhi menikmati kepuasaan bathin yang tiada taranya atas pencerahan yang diyakini mampu mengatasi penderitaan umat manusia menuju kebahagiaan mutlak setara dengan dirinya ; sebuah kebahagiaan atas pencapaian kesadaran Buddha. Salah satu kitab suci Buddha menyitir tekadnya : “Aku berprasetya agar seluruh umat manusia dapat mencapai kesadaran Buddha seperti diri Ku”.


 Menyadari akan kesadaran yang sulit dipercaya dan sulit dipahami ini, Shakyamuni sempat bimbang dalam upaya mengkomunikasikan pencerahan tersebut kepada umat manusia.  Ia lalu menngunjungi guru-guru meditasi dan kelima teman-teman pertapanya. Kedua guru ternyata telah wafat dan kelima teman pertapa memandangnya dengan sebelah mata karena menganggap beliau telah meninggalkan kehidupan asketik. Gundah gulana  dan keraguan  menyelimuti hati Shakyamuni, hingga suatu saat dalam meditasi Nya , Brahmana Sahampati datang mengunjungi serta memohon agar beliau  sudi membabarkan ajaran yang dapat mencerahkan manusia tersebut. Kisah pertemuan dengan Brahmana  ini merupakan simbol keputusan Shakyamuni untuk membabarkan pencapaian kesadaran Buddha  kepada umat manusia. 


 Shakyamuni mengunjungi  kelima teman pertapa di Rishi Patana,Benares (Sarnath) yang saat itu merupakan tempat favorit berkumpulnya para pertapa. Di Taman Rusa yang indah- dikemudian hari dikenal sebagai tempat “Pemutaran Roda Dharma Pertama”-itu beliau membabarkan pencapaian kesadaran kepada teman-teman pertapa.  Dikenal sebagai   Dhammacakkappavattana Sutta yang intinya menerangkan bahwa penderitaan dan kesulitan selalu ada, akan tetapi ada pemecahan yang memungkinkan melalui pengenalan masalah dari sumbernya.  Jalan keluar dari ketidakpuasan hidup menuju kebahagiaan sejati tersebut dirumuskan dalam suatu susunan Empat Kebenaran Mulia yakni : (1)Kebenaran Tentang Dukkha,(2)Kebenaran Tentang Asal Dukkha,(3)Kebenaran Tentang Akhir Dukkha,(4)Kebenaran Tentang  Jalan Menuju Akhir Dukkha. Kebenaran pertama menyatakan adanya masalah penderitaan, Kebenaran kedua menyatakan penyebab masalah, Kebenaran ketiga menyatakan keadaan ideal tanpa masalah dan Kebenaran keempat menyatakan bagaimana keadaan ideal itu dapat dicapai. 


Kata “dukkha” dalam ajaran Buddha sesungguhnya berarti “ segala-sesuatu tidak benar-benar pas daalm hidup kita—banyak terdapat kondisi yang tidak memuaskan dalam keberadaan kita; selalu saja ada sesuatu yang tampaknya tidak pas”. Jadi tema “penderitaan”yang sering diangkat dalam ajaran Buddha merujuk pada  segala jenis ketidak puasan, baik yang besar maupun yang kecil. Kebenaran tentang Dukkha yakni hidup ini penuh  dengan konflik, ketidakpuasan, penderitaan dan kesedihan (8 jenis penderitaan).  Kebenaran tentang asal dukkha menjelaskan bahwa semua nya itu disebabkan oleh keserakahan, kemarahan dan kebodohan.   Kebenaran tentanng  akhir dukkha  memberikan harapan tentang emansipasi, penyelamatan dan pembebasan bagi umat manusia atas penderitaan  itu yakni Nirvana. Kebenaran tentang jalan menuju akhir Dukkha yakni  Jalan Mulia Berfaktor Delapan. Sebuah “jalan” menuju pembebasan.


Jalan Mulia Berfaktor Delapan ini berisi segala sesuatu yang diperlukan untuk kehidupan mulia, kejernihan pemahaman dan pencapaian kebijaksanaan. Kedelapan faktor jalan mulia ini dapat dibagi dalam tiga aspek sebagai berikut : Disiplin moral (Sila): (1) Perkataan Benar, (2) Perbuatan Benar, (3) Penghidupan Benar; Pengembangan Bathin (Samadhi) : (4) Pengupayaan Benar, (5) Penyadaran Benar, (6) Pemusatan Benar; Kebijaksanaan (Prajna) : (7) Pandangan Benar, (8) Perniatan Benar. 

Sila, Samadhi dan Prajna ini adalah “Jalan” yang diajarkan Buddha bagi tercapainya kebahagiaan sejati dan merupakan fondasi  keimanan dalam agama Buddha.  Awal pembabaran ajaran Buddha ini dimaksudkan untuk mempersiapkan pendengarnya menuju ajaran yang setingkat lebih dalam perihal 12 Hukum Musabab Yang Saling Bergantung (paticcasamuppada); bahwa kehidupan dan dunia ini dibangun oleh serangkaian hubungan, yang mana kemunculan dan lenyapnya suatu faktor tergantung pada beberapa faktor lain yang mengondisikannya (hal inilah yang menjelaskan bagaimana kelahiran berulang bisa terjadi). 


Di tahap berikutnya,  Buddha  membabarkan jalan mencapai Kebahagiaan Sejati atau Pencerahan tersebut dengan menjelaskan 3 aspek Kebenaran  yang menguraikan tentang sifat sejati segala sesuatu, dimana semua keberadaan yang berkondisi terpengaruh olehnya.  Ketiga aspek kebenaran ini harus disadari untuk membantu kita menerima kenyataan di seluruh kehidupan walaupun berbeda ruang dan waktu. 3 kebenaran tersebut secara fundamental menyatu dan tak terpisahkan.


Pertama, aspek kebenaran tentang eksistensi temporer (impermanen), dimana lahir maupun bathin, pikiran atau perasaan selalu mengalami perubahan. Tidak pernah tetap atau sama, tidak ada yang permanen. Segala sesuatu terus menerus berubah, karena sebab-sebab dan kondisi yang membentuknya juga selalu berubah (Annica). Dengan  menyadari bahwa  segala sesuatu di alam semesta ini bersifat temporer dan secara konstan selalu berubah, maka diri terbebaskan dari belenggu keterikatan , terbebas dari ilusi dan hawa nafsu. 


Selanjutnya adalah aspek kebenaran  tanpa inti (non-substansial) yakni segala fenomena  tidak memiliki eksistensi absolut ; hampa/kosong (Shunyata), sesuatu yang  dapat dipahami antara ada dan tiada. Segala sesuatu tersusun dari komponen atau unsur-unsur yang selalu berubah, saling berhubungan dan saling bergantungan satu sama lain. Tidak ada satupun yang dapat berdiri sendiri sebagai suatu “inti diri” (Anatta)yang terpisah. Orang yang tidak menyadari kebenaran ini hidupnya akan dikuasai sikap “aku-punyaku-milikku” karena tidak dapat melepaskan ego yang selalu mementingkan diri sendiri. Egoisme yang membawa dirinya selalu dalam keadaan terancam oleh orang lain atau situasi tertentu. 


 Terakhir, adalah Jalan Tengah yang merupakan sifat dasar dari keberadaan. Segala fenomena yang mengandung aspek eksistensi temporer(Annica) dan aspek kebenaran tanpa inti(Shunyata)  adalah Jalan Tengah. Secara esensi Jalan Tengah ini memiliki makna yang  jauh dan mendalam, melampaui kata-kata maupun konsepsi. Ditandai punahnya segala konsep pemikiran, hilangnya dualisme dan teratasinya  segala ekstrem. Melampaui kelahiran dan kematian, kekal dan tidak kekal, diri dan tiada diri. Dengan memahami kebenaran ini, maka diri dapat mengenyahkan  kategori terakhir dari ilusi, yakni ilusi tentang sifat dasar dari kehidupan sejati, yang dapat menghambat seseorang mencapai pencerahan. Ketidaktahuan (avidya) tentang sifat dasar keberadaan ini adalah sumber dari seluruh ilusi dan hawa nafsu. Hal mana merupakan penghambat terbesar dalam menyadari realitas gaib dari segala sesuatu, karena terpisahnya diri dengan yang lain.


 Dengan menerangkan ketiga aspek kebenaraan tersebut, Buddha menjelaskan makna keberadaan diri serta kaitannya dengan alam semesta raya, mengidentifikasi sumber penderitaan serta sekaligus membuka jalan bagi tercapainya kesadaran Buddha bagi seluruh umat manusia. Siapapun yang menyadari kebenaran hakiki ini dapat mencapai kesadaran Buddha. 


Kaundiya, salah seorang dari kelima pertapa menjadi orang pertama yang mampu memahami ujaran Sang Buddha dan ke empat pertapa lainnya turut percaya dan menyatakan diri bergabung dalam sebuah Ordo Buddhisme yang merupakan cikal bakal terbentuknya Sangha (kumpulan para Bhikksu), salah satu daari tiga pusaka (Tri Ratna) keimanan dalam Buddhisme: Buddha, Dharma, Sangha. Di Taman Rusa inilah Yasha, putra salah seorang saudagar kaya dan 60 orang lainnya menyatakan diri  menjadi pengikut  beliau. Dalam perjalanan kembali ke Buddhagaya, Shakyamuni  berjumpa dengan tiga bersaudara pemimpin aliran pertapaan asketik Brahmana-Uruvela Kashyapa, Nadi Kashyapa dann Gaya Kashyapa- bersama seribu orang pengikutnya menjadi pemeluk Buddha. Bersama dengan seribu pengikut baru tersebut, Shakyamuni mengunjungi Rajagriha untuk bertemu dengan Raja Bimbisara yang kemudian menyumbangkan sebuah bangunan yang disebut Vihara Hutan Bambu. Di Rajagriha ini pula, Shariputra dan Maudgalyayana---kelak menjadi murid terkemuka Sang Buddha---bersama pimpinan mereka, Sanjaya dan dua ratus lima puluh pengikutnya melepaskan keyakinan sebelumnya sebagai pengikut Brahmanisme menjadi pengikut Buddha. 


Shakyamuni juga mengunjungi Shravasti yang merupakan ibukota kerajaan Kosala. Lalu Vaishali ibukota suku bangsa Vrijji dan Khausambi ibukota suku bangsa Vatsa. Selain Vihara Hutan Bambu, maka tempat-tempat favorit Buddha adalah Saptaparna Guha (Goa Tujuh Daun), Gridhrakuta(Tempat pembabaran Saddharma Pundarika Sutra), dan Vihara Jetavana yang dibangun oleh Sudatta atau dikenal sebagai Anatha Pindada (Si penyuplai  kebutuhan).  Vihara Jetavana digunakan Shakyamuni sebagai tempat retret di kala musim hujan yang biasanya memakan waktu tiga bulan.  Prasenajit, Raja  Kosala juga masuk kedalam agama Buddha bersama istrinya, Ratu Malika. Begitupula Ajatasathru putra Raja Bimbisara bersama-sama dengan Maha Kashyapa yang kelak akan menjadi penerus  ordo Buddhis setelah wafatnya Sang Buddha. Dalam perjalanan pembabaran ajaran ini beliau juga kembali mengunjungi Kapilavastu bertemu putranya Rahula, Nanda, sepupunya Ananda, Aniruddha, Devadatta dan seorang pemangkas rambut bernama Upalli.  Mereka semua termasuk raja Suddodhana berikut bibinya, Mahaprajapati Gautami  juga diterima sebagai pemeluk Buddha. Di sebelah Barat India, Mahakatsyayana dari negeri Avanti ikut menyebarluaskan Dharma , Purna ikut membabarkan ajaran di Sunaparranta yang terletak di Selatan Bombay, India Barat.


Masuk Nirvana


Shakyamuni wafat di usia delapan puluh tahun. Pada delapan tahun terakhir sebelum wafatnya, beliau tinggal di Gridhrakuta, Rajagriha-Magadha. Di Gridhrakuta inilah beliau membabarkan ajaran tentang pencapaian kesadaran Buddha bagi setiap manusia yang ajarannya ditulis dalam Sutra(kitab suci) Saddharma Pundarika Sutra. Bersama-sama dengan Amitarta Sutra sebagai pembuka dan Nirvana Sutra sebagai penutup.Hingga saat-saat akhir hidupnya, Shakyamuni terus  menerus melakukan perjalanan pembabaran Dharma.


 Beliau sempat mengunjungi Nalanda di desa Patali dan melihat rencana pembangunan istana yang menggambarkan kemakmuran desa tersebut. Ia juga sering menyeberangi sungai Gangga menuju Vaishali, ibukota suku bangsa Vrijji. Di tempat ini Ambapali menyumbang hutan mangga kepada ordo Buddhis. Lalu melanjutkan perjalanan ke Beluva di luar Vaishali dan mengalami sakit parah. Di tempat bernama Mala, Shakayamuni mengalami pendarahan karena diare akut setelah menerima makanan yang diberikan Chunda, pandai besi desa tersebut.

Mengenyampingkan rasa sakitnya ia tiba di Kushinagara.  Di rumpun pohon Sal di luar kota, Shakyamuni membaringkan dirinya dengan tenang. Ditopang dengan tubuh bagian kanannya dan kepala menghadap Utara beliau mengucapkan kata-kata terakhir kepada murid-muridnya : “ Kalian tidak boleh berpikir bahwa kata-kata guru mu telah tiada dan merasa ditinggalkan tanpa seorang guru. Ajaran dan Sila yang telah  Ku babarkan haruslah menjadi guru mu”. Kata-kata terakhir lainnya yang terkenal adalah : “Oleh karenanya, kalian harus menjadi pelita bagi diri mu sendiri. Jadikan diri mu sebagai tempat perlindungan. Janganlah mencari perlindungan di luar dirimu. Peganglah Dharma sebagai pelita dan jangan mencari perlindungan kepada apapun selain diri mu sendiri”.


Shakyamuni menghembuskan nafas terakhir. Jazadnya diterima oleh suku bangsa Malla di Kushinagara dan di kremasi tujuh hari kemudian. Abunya dibagi delapan, antara lain kepada  Ajatasathru, raja Magadha. Kaum Licchavis di Vaishali, suku bangsa Shakya di Kapilavastu . Stupa-stupa didirikan di seluruh India untuk menyemayamkan relik(salira) Sang Buddha. 


MAKNA TIGA PERISTIWA


Shakyamuni, sebagai manusia biasa memperlihatkan kepada kita  bahwa  sekalipun  pada kehidupan masa lampaunya telah menjalankan pertapaan dan mencapai kesadaran Buddha, dirinya tidak serta merta dilahirkan dengan keistimewaan bebas dari penderitaan.  Beliau menikah dan memiliki seorang putra layaknya manusia pada umumnya,  terdiri dari darah dan daging, memiliki nafsu keinginan dan naluri yang dibutuhkan  bagi perkembangan kehidupan. Beliau tidak dilahirkan sebagai seorang “Buddha” namun sebagai manusia pada umumnya, menjalankan pertapaan seperti pertapa-pertapa yogi  lainnya, seperti seorang penganut keagamaan yang tulus. Alasannya jelas, dibutuhkan perjuangan untuk mencapai  pencerahan sekaligus memperlihatkan  bahwa  sifat Buddha(Buddha nature) yang ada di dalam diri Sang Buddha pada hakikatnya sama dengan yang ada di dalam diri manusia biasa lainnya. Dengan kata lain, siapapun dapat mencapai kesadaran Buddha. Kesadaran Buddha tidak hanya berupa suatu potensi namun juga sesuatu kenyataan yang dapat diwujudkan.


Shakyamuni Buddha memilih senantiasa tinggal di “dunia” ini yang dianggap kotor dan fana untuk menyangkal pemahaman keliru bahwa Buddha tidak lahir dan hidup di dunia ini. Dunia tempat dimana kita hidup ini dalam bahasa Sansekerta disebut  “Saha” yang diartikan sebagai tahan; menahan kepedihan atas penderitaan. Ada aliran yang meyakini bahwa Buddha bermukim di sebelah Barat dari alam semesta , di suatu tempat yang disebut Tanah Suci dari Kebahagiaan Agung(Sukhavati). Atau Buddha yang tinggal di Kerajaan Sebelah Timur dari alam semesta raya dengan sebutan seperti Dunia Zamrud Suci dan Dunia Pusaka Teratai. “Dunia” ini adalah tempat Shakyamuni mencapai Kesadaran Buddha, tidak dalam kehidupan lain atau setelah kematiannya tetapi justru  di dalam masa kehidupan saat ini dan di dunia yang nyata ini. Hal ini mengandung arti bahwa Shakyamuni mengajarkan kepada kita untuk tidak mencari kebahagiaan di luar diri kita sendiri tetapi justru ada di dalam diri kita.


Buddha menginginkan umat manusia membuang seluruh tujuan-tujuan yang tak bernilai atau keterikatan –keterikatan  pada hal-hal di luar dirinya.Seluruh fenomena di dunia ini tidaklah pasti dan berlalu dengan cepat. Pusaran keanekaragaman yang berada disekitar kehiduupan memiliki kekuatan  yang mampu mempengaruhi umat manusia. Nafsu-nafsu keduniawian manusia yang dirangsang oleh panca indera-mata,hidung,telinga,lidah dan kulit-menghanyutkan perasaan manusia, membuat nya cenderung kehilangan kontrol atas dirinya. Dengan mencari kesenangan-kesenangan rendah untuk memuaskan nafsu-nafsu tersebut manusia mudah tersesat  dari tujuan kehidupan sejati dan jatuh kedalam penderitaan yang berat. Mereka membayangkan hal-hal keduniawian akan membawa kebahagiaan, ingin memilikinya dan memegang selama-lamanya.  Kekayaan, reputasi, kekuasaan membawa  manusia dalam perlombaan keserakahan, kemarahan, kebodohan yang berlebihan. Suatu perlombaan  yang tidak mampu memenuhi kepuasan  abadi, yang pemenangnya hanya segelintir orang dan hasil akhirnya lebih banyak menimbulkan kekecewaan kepada seseorang dan lainnya.


Shakyamuni menyadarkan manusia dan kedangkalan hidup mereka yang cenderung  hanyut oleh tingkah laku dan nafsu-nafsu naluri tanpa dapat mengendalikannya. Untuk itu ia mengajarkan agar manusia dapat melepaskan keterikatan-keterikatan dengan memahami kebenaran sejati dari segala fenomena di alam semesta raya. Kebenaran sejati bahwa segala sesuatu di alam semesta ini bersifat sementara   dan oleh karenanya selalu berubah dan tidak memiliki inti diri yang membuatnya tak abadi. Hanya dengan memahami Kebenaran sejati ini manusia akan terlepas dari keterikatannya pada  hawa nafsu dan ilusi. Namun demikian bukan berarti Buddha mengajarkan penyangkalan atas adanya hawa nafsu dalam diri yang justru dibutuhkan dalam  mempertahankan hidup.  Melalui berbagai kesempatan beliau mengajarkan bagaimana mengembangkan kearifan  untuk memilah-milah mana keterikatan yang masih bersifat wajar serta kecakapan untuk memutuskan mana diantaranya nafsu-nafsu yang bernilai positif dan yang destruktif. 


 Untuk itu setelah membabarkan   Empat Kebenaran Mulia  di Taman Rusa itu, beliau melanjutkan kembali  pembabaran ajaran berikutnya dalam sebuah rumus yang sistematik dan lengkap untuk lepas dari ketidakpuasan dan mencapai kebahagiaan sejati yakni  Jalan Mulia Berfaktor Delapan. Jalan ini diperlukan untuk kehidupan mulia, kejernihan pemahaman dan pencapaian kebijaksanaan agar terhindar dari dua  kutub ekstrim , pemanjaan diri ataupun penyiksaan diri; dua ekstrim yang pernah dilakoni di masa mudanya. 


Hingga wafat di usia delapan puluh tahun, selama 50 tahun Shakyamuni mencurahkan  waktunya  untuk membimbing manusia dengan penuh Maitri Karuna(welas asih).  Sebagai seorang Guru, beliau secara sistematis mempersiapkan murid-muridnya secara bertahap untuk satu tujuan sesuai dengan prasetya yang telah diucapkannya : “Untuk membimbing umat manusia mencapai Kesadaran Buddha sama seperti diri Ku”. Delapan tahun terakhir sebelum kemokshaannya, di puncak gunung Gridhrakuta (puncak garuda), Shakyamuni Buddha membabarkan ajaran terakhir  tentang  dimungkinkannya setiap manusia mencapai kesadaran Buddha dan kekekalabadian Buddha di ketiga masa-lalu,sekarang,mendatang.  Tentang kekekalabadian jiwa Buddha ini beliau menegaskan : “Aku membiarkan umat  tidak dapat melihat Aku, meskipun aku berada di dekatnya menyaksikan Nirvana ku, sebagai suatu cara untuk menyelamatkan mereka, tetapi sesungguhnya aku tidak moksha dan senantiasa berada disini mengajarkan Dharma. Aku senantiasa berada disini, namun karena kekuatan gaib Ku, orang-orang tersesat” (Saddharma Pundarika Sutra). 


Hal ini memastikan keberlangsungan jiwa secara abadi, dari kehidupan saat ini menuju kehidupan yang akan datang.  Shakyamuni menganggap kemokshaannya sebagai suatu cara,  dalam upayanya untuk  menyelamatkan orang-orang  yang tidak berkesadaran.  Kelahiran dan kematian  adalah  tahapan alami dari sebuah kehidupan jiwa yang kekal abadi. Semua  mengalami perputaran kelahiran  kembali dan kematian secara berkesinambungan. Setelah kematian, jiwa akan melebur kembali dalam keterpaduan dengan jiwa alam semesta. Kelahiran dan kematian adalah segi dasar dari keberadaan (eksistensi) manusia, juga merupakan cara dimana arus keabadian jiwa “menyatakan” dirinya.  Manusia yang belum saadar mengalami penderitaan karena menganggap kehidupan dimulai  pada saat kelahiran dan rampung di saat ajal. Manusia yang telah mencapai Kesadaran Buddha adalah yang menyadari intisari kehidupan dan fenomena dari kelahiran dan kematian sebagai suatu tahap dari kekekalabadian. Jiwa tidaklah lenyap atau berubah menjadi apa-apa pada kematian. Pada kematian, jiwa akan melebur dengan kehidupan jiwa alam semesta yang  lebih besar dan memasuki keadaan keterpaduan yang disebut sebagai “Shunyata”.  Jiwa akan terlahir kembali apabila suasana dan syarat-syaratnya tepat. 


Ketika umat manusia memahami secara tepat aspek kebenaran kehidupan  kejiwaan dan segala fenomena lainnya, maka suatu kehidupan jiwa yang terisi penuh dengan kebahagiaan  sejati  terbentang dihadapan . Itulah pencapaian Kesadaran Buddha  yang sesungguhnya, seperti terungkap dalam kata-kata Buddha dalam Kitab Suci Saddharma Pundarika Sutra ini : “ Ketika umat manusia menyaksikan kemokshaanku, mereka tersebar luas  menghormati peninggalan ku, mereka akan memiliki pikiran-pikiran yang mendambakan, dan di dalam hati mereka akan terlahir suatu pendambaan akan aku. Ketika mereka sungguh-sungguh berkeyakinan, jujur dan terus terang, lembut dalam pikirannya, dengan penuh kesungguhan hati  mendambakan melihat Sang Buddha, bersedia menyerahkan jiwa raganya untuk itu, maka aku beserta pesamuan para Sangha akan muncul bersama di atas puncak Gridhrakuta”.


SELAMAT HARI RAYA WAISAK. 

Tangerang, Mei 2011.




 MENEMUKAN HARTA PUSAKA DALAM JIWA. 


Belum lama ini dua peristiwa yang mengenaskan terjadi secara beruntun di sekitar kita. Pembunuhan sepasang suami istri di kota medan yang dipicu oleh persaingan bisnis dan pembantaian sadis 4 anggota keluarga di Binjai dengan penyebab sepele, charger HP!. Peristiwa demi peristiwa yang menyebabkan jatuhnya korban silih berganti menghiasi berita baik di media cetak maupun elektronik. Belum lagi teror bom yang dilakukan oleh generasi baru teroris yang bahkan telah menjadikan Indonesia sebagai medan perang. Kekerasan, kebencian dan radikalisme tumbuh dengan gejala yang semakin meningkat, telah  menimbulkan kecemasan. Kita jadi bertanya-tanya, apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam diri dan masyarakat di sekeliling kita. Mengapa kita menjadi begitu mudah menjadi pemarah, bertindak anarkis, dan kering dari nilai-nilai kemanusiaan?. 


Sebagai umat beragama Buddha, kiranya pertanyaan tersebut dapat kita renungkan lebih mendalam, terlebih lagi kita akan bersama-sama melaksanakan Hari Raya Waisak. Makna apa yang dapat kita gali dari ketiga peristiwa agung dalam perjalanan hidup Sang Buddha—kelahiran,  pencerahan dan Parinirvana—sekaligus menemukan nilai-nilai yang dapat memimpin bathin agar dapat kembali ke “Jalan” yang telah ditunjukkan Nya. Pemikiran apa yang dapat kita sumbangkan dan falsafah hidup yang bagaimana seharusnya kita laksanakan agar dendam, kebencian, dan mimpi semu memiliki kekayaan harta benda dapat diredam. Sudah menjadi tugas kita bersama sebagai murid-murid Buddha untuk menyebarluaskan Dharma yang penuh keagungan ini dengan menjadikan setiap diri kita menjadi teladan sebagaimana yang telah diajarkan oleh Sang Buddha dalam kehidupannya. Lalu apa yang bisa kita lakukan agar dapat mengubah suasana yang meresahkan ini menjadi lebih optimis, penuh dengan kebijaksanaan dan welas asih? 


 Kelahiran dan pengembaraan


Sebagaimana kita ketahui bersama, Siddharta Gautama yang lahir sekitar 2.500 tahun lalu di India, adalah seorang putra mahkota dari sebuah kerajaan yang terletak di kaki gunung Himalaya, putra dari Raja Shuddhodana, penguasa suku bangsa Shakya. Ibunya, ratu Maya melahirkan bayi yang di ramalkan akan menjadi penguasa dunia itu di Taman Lumbini (lokasinya kini disebut desa Paderia di Selatan Nepal).  Ibu kota kerajaan yang penduduknya sebagian besar hidup dari pertanian dan peternakan itu bernama Kapilavastu. Ibundannya meninggal dunia 7 hari setelah kelahiran Siddharta yang selanjutnya bibinya—Mahaprajapati Gautami—membantu membesarkan Nya. Siddharta Gautama menikahi Yashodara (seorang wanita ningrat) dan memberinya seorang putra, Rahula.
 Meskipun hidupnya dikelilingi kemewahan berlimpah, Siddharta tumbuh sebagai pemuda yang intelek dan berperangai halus serta memiliki kegemaran akan hal-hal yang menyangkut makna kehidupan dan kebenaran abadi. Sifat nya yang introspektif membuat dirinya tertarik dengan kehidupan keagamaan dibandingkan dengan kehidupan duniawi. 


Motif kepergian Siddharta  dari istana dipicu oleh sebuah momen tak terduga ketika dirinya diberi kesempatan untuk tamasya keluar dari Kapilavastu. Didampingi kusirnya yang setia, Channa, secara beruntun beliau bertemu dengan empat kejadian di keempat pintu gerbang istana—dikemudian hari dikenal sebagai 4 perjumpaan—yang semakin meneguhkan tekadnya untuk memasuki dunia spiritual.  Perjumpaannya dengan derita yang dialami seorang lanjut usia, orang yang sedang sakit,  kematian dan  kelahiran—dikemudian hari dikenal sebagai 4 penderitaan—menggambarkan problema mendasar dari eksistensi umat manusia. Keempat penderitaan ini ditambah 4 penderitaan lain(menjadi 8 penderitaan) yakni : (1) penderitaan berpisah dengan  yang dicintai, (2) penderitaan bertemu dengan orrang yang tidak kita sukai; (3) penderitaan karena tidak tercapainya keinginan; dan (4) penderitaan karena ketidak seimbangan lima unsur (panca-skandas), 


Pencerahan dan pembabaran ajaran


Tekad Siddharta melepaskan kehidupan duniawi ditandai dengan peletakan jabatan sebagai pangeran dengan segala gelar kehormatan dan resmi menjadi pencari kebenaran. Siddharta pergi menuju Rajagriha, ibukota dari  kerajaaan Magadha untuk belajar kepada 2 guru meditasi terkenal saat itu, Alara Kalama  dan Uddaka Ramaputta. Beliau cepat menguasai meditasi namun tidak merasa puas. Kedua guru tersebut tidak dapat membimbingnya dalam menemukan jawaban atas apa yang dipikirkan Nya: bagaimana mengatasi penderitaan. Akhirnya, Siddharrta meninggalkan ke dua guru tersebut dan pergi menuju Uruvela diluar kota Gaya yang berada di sebelah selatan Rajagiha. Di tepi sungai Nairanjana  beliau memulai sendiri kehidupan asketik yang bertumpu pada berbagai jenis praktik pertapaan yang berat. Laku tapa brata ini dijalankan selama 6 tahun, namun demikian tetap tidak dapat memuaskan diri Nya. Akhirnya, beliau menolak kehidupan pertapaan asketik yang sia-sia tersebut, dan mencoba secara  bertahap memulihkan kembali kesehatan tubuhnya yang gering. Di saat itulah, ia menerima air susu kedelai dari Sujata, gadis desa putri dari pemilik tanah setempat. Siddharta pulih dan duduk di bawah pohon pippala (assattha)—kemudian dikenal sebagai pohon bodhi—di dekat kota Gaya, dan mencapai kesadaran Buddha. Di perkirakan usia beliau saat itu sekitar 30 tahun dan tempat pencapaian kesadaran Buddha tersebut dikenal juga sebagai Bodhgaya. Sejak itu Siddharta diberi gelar “Buddha” artinya “Yang Sadar” dan selanjutnya disebut juga sebagai Buddha Shakyamuni (arif bijaksana dari suku bangsa Shakya).


Di dalam usahanya untuk membabarkan Hukum (Dharma) kepada teman-teman pertapanya, Shakyamuni menuju Taman Rusa (saat ini disebut Sarnath) dekat Varanasi (Benares), Tempat ini juga terkenal dengan sebutan Rishi-patana  “tempat berkumpulnya para pertapa”, dan disini lah Shakyamuni membabarkan ajaran untuk pertama kali nya  yang disebut  Dhammacakkappavattana Sutta (Sutra Pemutaran Roda Dharma). Sutra ini berisi tentang bekerjanya Empat Kebenaran Mulia yakni kebenaraan pertama menyatakan adanya masalah penderitaan, kebenaran kedua menyatakan penyebab masalah, kebenaran ketiga menyatakan keadaan ideal tanpa masalah, dan kebenaran keempat menyatakan bagaimana keadaan ideal itu dapat dicapai.


 Sejak saat itu Shakyamuni Buddha berkeliling ke seluruh India dan selama 50 tahun membabarkan Dharma. Diantaranya beliau mengunjungi berbagai tempat seperti Benares, Buddhagaya, Rajagriha di Magadha, Shravasti, ibukota Kosala, Vaishali ibukota suku bangsa Vrijji; Kaushambi ,ibukota Vatsa, Gridhrakuta, Saptaparna-guha. Di tempat-tempat inilah banyak pemimpin keagamaan menjadi murid-murid Nya seperti Uruvelva Kashyapa, Nadi Kashyapa, Gaya Kashyapa, Raja Bimbisara, Shariputra, Maudgalyayana, Sanjaya Nanda, Ananda, Aniruddha, Devadatta dan Upali.


Masuk Nirvana


 Shakyamuni Buddha wafat pada usianya 80 tahun di Kushinagara. Di bawah rimbunan pohon Sala, beliau memberikan instruksi terakhir kepada murid-muridnya : Kalian tidak boleh berpikir bahwa kata-kata guru mu telah tiada dan kalian ditinggalkan tanpa seorang guru. Seluruh ajaran dan Sila yang telah kubabarkan adalah guru mu”. Ucapan terakhir lainnya yang terkenal adalah: “ Oleh karena itu, kalian harus menjadi pelita bagi diri mu. Jadikanlah diri mu sebagai pelindung. Jangan mencari pelindung di luar diri mu sendiri. Peganglah secara teguh Dharma sebagai pelita, dan jangan cari pelindung dimanapun kecuali di dalam diri mu sendiri”. Peninggalan Shakyamuni diterima oleh suku bangsa Mallas di Kushinagara dan di kremasi tujuh hari kemudian. Abu nya dibagi menjadi delapan bagian dan diberikan kepada Ajatashatru, raja dari Magadha, juga kepada kaum Licchavis dari Vaishali dan suku Shakya  di Kapilavastu. Stupa-stupa dibangun untuk menyemayamkan relic-relik Sang Buddha.

  
Mengubah Tiga Jalan


Dalam ketiga peristiwa—kelahiran, pencerahan dan memasuki nirvana—dalam hidup Buddha terkandung begitu banyak teladan dan ajaran yang dapat kita petik. Ia merupakan sosok yang bijaksana,  penuh cinta dan membimbing agar kita dapat hidup mulia. Seorang pangeran  pewaris tahta kerajaan yang kaya raya, yang memilih untuk meninggalkan warisan-Nya demi kebahagiaan seluruh mahluk. Ia tidak melepaskan keduniawian pada usia senja, tetapi dalam usia belia; bukan dalam kemiskinan tapi dalam kelimpahan

Tubuh-Nya menyusut seperti kerangka, karena menjalani hidup pertapaan yang keras hingga di luar ambang batas kemampuan manusia selama enam tahun. Penyiksaan diri yang menyakitkan hanya berakibat melemahnya tubuh dan luruhnya semangat. Ia menjadi yakin bahwa ekstrim penyiksaan diri adalah sia-sia. Ia akhirnya memutuskan untuk mengambil jalan sendiri dan di saat memasuki meditasi yang mendalam, diri-Nya mencapai pencerahan di saat purnamasidhi di bawah pohon Bodhi di usia 30 tahun. Tanpa bantuan dan bimbingan adi kodrati (supra natural) apapun, dan semata-mata mengandalkan upaya dan kebijaksanaan-Nya sendiri, ia menyadari segala sesuatu sebagaimana adanya. Ia tidak terlahir sebagai” Buddha” tetapi ia menjadi “Buddha” melalui perjuangan-Nya sendiri!  


Sosok Buddha adalah seorang manusia seperti kita yang mencapai puncak tertinggi dalam menemukan Kebahagiaan Sejati yakni menyadari hakikat sejati dari segala sesuatu. Oleh karenanya  seluruh mahluk hidup, sama seperti Buddha, memiliki sifat Buddha (benih-benih ke-Buddhaan)dalam dirinya. Dengan demikian, kita semua memiliki potensi ke-Buddhaan dan dapat mencapai Pencerahan. Dalam Saddharma Pundarika Sutra beliau bersabda : “Aku berprasetya untuk membimbing seluruh umat manusia dapat mencapai kesadaran Buddha sama seperti diri Ku”. Inilah pesan Buddha yang sungguh menggembirakan, harta pusaka yang tak ternilai harganya. Beliau menunjukkan jalan dan membimbing  kita menemukan harta ini. Namun demikian beliau mengingatkan bahwa di saat yang sama, diri kita berada dalam kegelapan. Dalam Sutra 12 Hukum Musabab yang Saling Bergantung (Patticcasamuppada) diawali dengan kata Avidya; kegelapan bathin (ignorance) yang menyebabkan kita takluk dan tersesat oleh kekuatan ketamakan, kebencian dan kebodohan


Jalan menuju pencerahan ini adalah dengan membersihkan awan kegelapan bathin (avidya) yang menyelimuti sifat Buddha dalam diri kita. Avidya ditandai dengan bercokolnya tiga racun dari keserakahan, kemarahan dan kebodohan yang dikategorikan sebagai hawa nafsu (Klesha). Hawa nafsu ini adalah penyebab dari segala penderitaan baik jasmani maupun rohani. Hawa nafsu dan penderitaan yang dihasilkannya terhubung oleh karma, yang mengikat kita kepada sumber penderitaan. Hawa nafsu, karma dan penderitaan dalam Buddhisme disebut sebagai “Tiga Jalan”. Disebut jalan karena mereka saling berhubungan dan terdapat jalinan kausalitas diantara mereka. Penderitaan dipenuhi dengan hawa nafsu. Hawa nafsu menyebabkan tindakan yang menciptakan karma buruk. Efek dari karma buruk iini terwujud dalam penderitaan , baik mental maupun fisik, yang pada akhirnya mem buat hawa nafsu semakin berkobar. Hawa nafsu menumbuhkan karma buruk, yang menghasilkan lebih banyak lagi penderitaan, dan begitu seterusnya. Terjebak dalam lingkaran ini menyebabkan diri kita menderita di enam dunia rendah. 

 
 Dalam tahapannya , penderitaan disebabkan oleh karma buruk dan karma buruk dihasilkan dari hawa nafsu. Oleh karena itu, untuk mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan dan karma buruk menjadi karma baik, seseorang harus mampu mentransformasikan  hawa nafsu. Tidak akan terdapat perubahan positif dari karma seseorang tanpa mengatasi problema hawa nafsu. Dalam Buddhisme, hawa nafsu ini diterjemahkan pula sebagai “Ilusi” atau “nafsu”, yang pada intinya mengacu pada pengertian tentang berbagai fungsi mental yang mengganggu kesehatan fisik dan spiritual seseorang. Dari berbagai macam ilusi, maka Avidya (kegelapan bathin) adalah yang paling mendasar karena ia merupakan asal muasal dari segala hawa nafsu dan yang menghadang seseorang mencapai pencerahan (ketidaktahuan akan adanya sifat Buddha dalam diri).


 Dengan demikian, perjuangan untuk mengikis avidya akan membawa kita menemukan harta pusaka sesunguhnya. Kita akan terbangun dari kehidupan yang penuh dengan impian semu ini menuju kehidupan yang lebih tinggi yang penuh dengan kebijaksanaan dimana semua mahluk hidup harmonis berdampingan saling mencintai dan tidak membenci. Ketika kita berupaya mengatasi dan mengendalikan hawa  nafsu, maka dapat membimbing hawa nafsu ini kearah pencerahan dan membuka selubung avidya mewujudkan sifaf Buddha. Kita dapat mengubah bahkan karma buruk, melepaskan kita dari belenggu penderitaan dari enam dunia rendah(neraka, kelaparan, kebinatangan, asura, kemanusiaan dan surga) menuju empat dunia suci (sravaka, pratekyabuddha, boddhisatva, Buddha). 


Tidak dapat disangkal bahwa hawa nafsu membawa penderitaan, namun terlalu sederhana bila kita menganggap seluruhnya buruk. Selama manusia hidup, dirinya terikat dengan hawa nafsu; mereka dibutuhkan demi kelangsungan hidup.  Insting kelaparan akan makanan, tidur dan sex adalah hawa nafsu. Tanpa nafsu, seseorang mati. Karena hawa nafsu, seseorang dapat mempertahankan hidup. Hidup kita dipenuhi dengan hawa nafsu, Meski tanpa harus menghilangkannya, kita dapat memurnikan kehidupan kita dan mencapai pencerahan. Hawa nafsu menyatakan ilusi. Sebaliknya, pencerahan menunjukkan terbangunnya kita pada kebenaran. Ketika kita dapat meningkatkan kehidupan yang lebih tinggi, apa yang tadinya berfungsi untuk menghidupkan hawa nafsu mulai bergerak menghidupkan kesadaran, dan yang tadinya menghasilkan penderitaan berubah menjadi kebahagiaan. Ketika sifat Buddha kita terbangun maka secara alami segala hawa nafsu terarahkan menuju kebahagiaan, memutuskan lingkaran hawa nafsu—karma—penderitaan.


SELAMAT HARI RAYA WAISAK.


Tangerang, Mei 2011.
Catatan : Tulisan ini dimuat di Vivanews (Kanal U-Report) 17 Mei 2011.

Jumat, 23 September 2011

3 PERISTIWA, 3 KEBENARAN DAN 3 RACUN DALAM JIWA



 Bila kita amati secara seksama, akhir-akhir ini tampak adanya kecenderungan yang mengkhawatirkan di dalam diri anak-anak muda kita, yakni keterlibatannya secara intens dalam tindakan kekerasan yang tidak saja membahayakan dirinya tetapi juga khalayak ramai. Keterlibatan mereka secara mendalam terhadap ideologi kekerasan yang  bersumber pada keyakinan bahwa dirinya dalam keadaan teraniaya dan perjuangan untuk untuk membebaskan keadaan ini adalah dengan jalan kematian, baik bagi diri sendiri maupun objek yang dianggap sebagai penyebabnya. Setidaknya terdapat dua hal yang perlu kita kaji secara mendalam yakni pelakunya—rata-rata masih berusia muda—dan ideologi yang melatarbelakangi tindakannya. 

Sudah menjadi kewajiban bagi kita umat beragama  Buddha yang tidak lama  lagi akan merayakan Hari Waisak untuk ikut serta memikirkan kondisi yang memprihatinkan ini. Sebagai murid Buddha, tentu hal ini tidak bisa dianggap remeh atau bahkan menganggap bahwa hal ini tidak ada urusannya dengan kehidupan kita. Sudah saatnya bagi kita umat beragama untuk bersama-sama memikirkan dan mencari solusi, karena masalah ini telah menjadi keprihatinan kita bersama sebagai anak bangsa. Harus terdapat perubahan mendasar dari sikap kehidupan keagamaan yang tadinya melulu memikirkan nasib diri sendiri, berubah menuju pada pengembangan keimanan yang lebih luas dan kearah yang lebih tinggi.

Pada umumnya,  sebagai penganut agama kita datang ke tempat-tempat ibadah di kala jatuh sakit, mengalami masalah ekonomi, cinta, atau hubungan tak harmonis di dalam keluarga atau tempat kerja. Atau sebaliknya, kita menjadi jarang ke vihara karena merasa tidak ada masalah dengan kehidupan kita. Semuanya lancar-lancar saja, kalaupun ada masalah semua bisa diatasi dengan segala kemajuan yang telah dicapai oleh ilmu pengetahuan. Jikalau sakit, pengobatan dan perawatan yang prima tersedia. Apalagi dengan kondisi perekonomian saat ini yang lebih kondusif membuat usaha relatif lebih mudah. Begitupun, dalam komunikasi tidak ada yang terlalu sulit untuk dijangkau. Kondisi mental dan fisik yang prima menyebabkan kita dapat mengeliminasi kesulitan, ketidak puasan dan penderitaan melalui gaya hidup nonreligius. Kekhawatiran bahkan bisa ditutup dengan kegiatan olah raga, entertainment, minuman keras, sex, obat-obatan, dlsb.  Kita sedang dimabuk kenikmatan surgawi. Membuat kita menjadi terlena dan lupa bahwa semuanya ini hanyalah sementara, tidak kekal. Juga membuat kita lupa bahwa masih banyak yang harus kita pikirkan selain diri kita sendiri. 

Kealpaan ini membuat manusia menjadi semakin egoistik dan tidak peduli dengan keadaan disekitarnya. Korupsi meraja lela, kekuasaan yang tidak mendengar, anti kritik, selalu komplein, mudah marah, dlsb. Sifat-sifat egoistik ini dalam beberapa kasus bahkan mengarah kepada tindakan kejam dalam melakukan perbuatan kriminal. Banyak orang saat ini—termasuk anak muda—yang melakukan tindakan kejahatan tanpa menyadari bahwa apa yang mereka lakukan sebagai keburukan dan mungkin tidak paham tentang nilai-nilai kebaikan dan keburukan.  Mereka tidak tahu bahwa tindakan yang mereka buat adalah keburukan. Mereka tidak menyadari bahwa setiap tindakan keburukan akan memperoleh balasan keburukan pula. Ketidak tahuan akan validitas hukum sebab akibat ini mengundang orang untuk berbuat kejahatan. Kebaikan dann keburukan akan berhubungan dengan kebahagiaan atau penderitaan  dirinya sendiri. Dengan memahami hukum sebab akibat ini kemungkinan dapat menurunkan tingkat kriminal dan kekerasan, meskipun  tidak dapat dipungkiri bahwa keburukan dapat saja ditimbulkan atas ideologi yang disebarkan oleh pemimpin yang menolak hukum sebab akibat ini, yang mendorong kekerasan sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah. 

 Shakyamuni Buddha melihat manusia berjalan diatas es yang tipis dan berada sangat dekat dengan bahaya. Beliau lahir di dunia ini dengan keprihatinan yang besar akan penderitaan yang dialami umat manusia. Maka terlihat betapa perjuangan hidupnya yang begitu keras untuk mencari sebab musabab yang membuat manusia menjadi begitu menderita. Pencerahan yang dialaminya di Bodhgaya dan dilanjutkan dengan pembabaran ajaran ke seluruh India untuk menyadarkan  umat manusia tentang tiga aspek kebenaran—bahwa segala sesuatu bersifat tidak kekal(impermanen), tidak memiliki substansi (egolessness), dan nirvana sebagai pembebasan dari segala penderitaan —merupakan jalan agar manusia dapat terlepas dari hawa nafsu dan segala keterikatan. Bahkan hingga akhir hayatnya, beliau membesarkan hati manusia akan kekekalabadiaan diri-Nya dalam membimbing seluruh umat manusia agar dapat mencapai kebahagiiaan sejati sesuai dengan prasetya-Nya:  “Membuat seluruh umat manusia  mencapai kesadaran Buddha sama seperti diri Ku.”

Melalaui tiga peristiwa dalam kehidupannya—kelahiran, pencerahan dan parinirvana—Buddha  memperlihatkan kepedulian yang besar atas kemanusiaan.  Buddha  mendorong manusia untuk  memperjuangkan yang terbaik bagi diri dan masyarakat disekitarnya.  Apabila masyarakat berkembang dengan baik, kebahagiaan individu sudah pasti tercapai. Di dalam pembabaran ajaran dan perjumpaan-perjumpaan-Nya dengan Brahmana, pengusaha, bangsawan dan masyarakat awam, Shakyamuni selalu menekankan usaha pelepasan hawa nafsu dan keterikatan yang berasal dari tiga racun: keserakahan, kemarahan dan kebodohan (ignorance). Tujuannya hanya satu, agar manusia mampu secara jernih mengembangkan kehidupan keagamaan yang tidak hanya ditujukan bagi keselamatan dirinya belaka(egoistik), melainkan juga aktif merombak kondisi masyarakat yang dipenuhi  oleh hawa nafsu dan khayalan palsu (delusi).  Suatu perubahan bentuk keimanan yang tadinya hanya terbatas self-oriented, menuju keimanan yang memikirkan kebahagiaan orang lain dan alam sekitar. Inilah makna pertumbuhan dalam keimanan kita setiap kali merayakan Hari Waisak.     



KELAHIRAN DAN KEBERANGKATAN

Siddharta Gautama lahir di Taman Lumbini (500 SM) yang terletak di antara negara bagian Shakya dan Kosala. Ratu Maya, sebenarnya ingin melahirkan bayinya di Devadaha, ibukota Kosala, namun ketika ratu Maya berhenti sejenak dalam perjalanan karena tertarik dengan rimbunan bunga dan berusaha memetiknya dari pohon asoka, tiba-tiba merintih kesakitan. Tanpa persiapan sewajarnya, ia melahirkan di bawah pohon tersebut. Menurut legenda, seekor naga memberikan air hangat untuk mandi pertama bayi yang langsung dapat berdiri dan berjalan sebanyak tujuh langkah sambil berucap : “Akulah yang termulia, di surga dan di bumi.”.

Raja Suddhodana dan seluruh penduduk di istana kerajaan bersuka cita, Sang raja mengundang Asita yang meramal  apabila anak tersebut menetap di istana maka ia akan menjadi Chakravarti (Raja Pemutar Roda) dan bila meninggalkan istana akan menjadi guru agung; Buddha. Puas dengan ramalan Asita, sang raja member nama putranya Siddharta yang berarti “ Ia yang telah mencapai tujuan’”  Nama yang mencerminkan seseorang yang memiliki karma baik. Seseorang yang telah melakukan banyak sebab-sebab baik pada masa kehidupan lampaunya dan menerima anugerah dari tindakan-tindakan sucinya. Kehidupan agung dimasa lampau-Nya menjadi sebab dari kelahirkan-Nya di kehidupan saat ini. Dalam pengertian inilah, diri-Nya “telah mencapai tujuan.”

Kehidupan di dunia tidak pernah mengenal kebahagiaan yang kekal. Di tengah-tengah perasaan suka cita atas kelahiran Siddharta, datanglah kepedihan. Ibunda-Nya, ratu Maya meninggal dunia tepat tujuh hari setelah kelahiran-Nya. Beruntung, bibinya, Mahaprajapati Gautami  bertindak sebagai ibu angkat. Diliputi oleh cinta dan welas asih, Siddharta tumbuh penuh dengan kenyamanan. Namun demikian, sang pangeran terlihat sedih tanpa ibu-Nya. Disamping itu, keadaan negeri Shakya yang berada di bawah pengaruh Kosala, membuat keadaan tidak pasti. Hal-hal ini mebuat Siddharta tidak tenang. Di usia sekitar lima belas tahun, Ia menyaksikan pertarungan sengit antar binatang. Pada festival pertanian, sekitar 500 kerbau digunakan untuk membajak sawah membuat  serangga di baliik tanah bermunculan dan menjadi mangsa burung-burung kecil untuk pada akhirnya mati terbunuh dimangsa burung-burung yang lebih besar; predatorisme.

Siddharta muda tumbuh menjadi seorang pangeran yang tampan dan memiliki pribadi yang mulia. Raja Suddhodhana yang berharap anaknya  menjadi putra mahkota menyiapkan istana musim panas, hujan dan dingin. Meskipun setiap saat disuguhi dayang-dayang cantik yang pandai merangkai bunga, menari dan menyanyi , tetap tak dapat membuat-Nya  senang: “ Aku begitu lemah di masa muda ku. Di rumah ayah ku terdapat beberapa kolam yang ditanami teratai berwarna putih, merah, kuning dan bunga lily air untuk menyenangkan diri ku. Tersedia pula dupa terbaik dari Kasi. Sorban,jubah, pakaian dalam dan pakaian sehari-hari ku adalah sutra terbaik dari Kasi. Siang dan malam, ketika  aku berjalan, seorang berdiri di dekat ku memegang payung putih diatas kepala ku, melindungi ku dari terik matahari, dingin, hujan dan debu yang beterbangan.  Tiga istana dibangun untuk ku: satu untuk musim panas, satu untuk musim dingin, dan satu untuk musim hujan. Sepanjang empat bulan di musim hujan, aku hidup di istana yang dibangun untuk musim itu, menikmati musik yang dimainkan oleh wanita-wanita cantik, dan aku tidak pernah bepergian. Di rumah ayah ku bahkan pelayan dan pekerja mendapat nasi putih dan daging”.


Untuk membuat putranya senang, raja Suddhodana menyiapkan empat perjalanan tamasya keluar dari istana melalui empat pintu gerbang yang justru membuat sang pangeran menyaksikan keadaan—orang tua renta, sakit  dan mati—yang  semakin membuat dirinya sedih, stress dan menguatkan tekadnya untuk mencari sumber dari penderitaan. Selanjutnya beliau berkata: “ Meskipun diri ku masih belia dan hidup di dalam kemewahan, aku sering terobsesi dengan pikiran bahwa banyak orang yang tidak peduli dengan masa lanjut usia, sakit dan kematian yang dialami manusia lainnya. Mereka menganggap persoalan yang dihadapi orang lain adalah bukan urusannya, mengabaikan bahwa dirinya juga akan mengalami masa tua, jatuh sakit dan kematian. Tapi aku menghubungkan penderitaan usia lanjut, sakit dan kematian orang lain dengan diri ku, dan ini menyebabkan diri ku menderita dan merasa malu dengan kebanggaan tentang kemudaan, kebugaran dan hidup.


Kesemuanya ini semakin  menggambarkan pribadi sang pangeran yang tidak dapat menikmati kesenangan atas kelimpahan harta yang tersedia. Kesedihan ditinggal ibunda dan keadaan politik yang tak menentu dari suku bangsa Shakya , terlebih keharusan menjadi  pewaris tahta, memainkan peranan penting dalam pembentukan watak-Nya. Kepedulian  atas penderitaan umat manusia dan mahluk hidup lain—bahwa semua harus mengalami kelahiran, tua, sakit dan mati —dan perjuangan tanpa henti serta pertikaian untuk bertahan hidup, dimana yang kuat mengalahkan yang lemah, mendorong sang pangeran untuk menemukan sesuatu yang dapat membebaskan derita dan rasa tidak aman. Keinginan agung ini mempertebal  tekad-Nya untuk meningggalkan kehidupan duniawi. Siddharta meninggalkan istana di kala usia belia dan kelimpahan harta, menanggalkan seluruh pakaian kebesarannya, mengenakan jubah kuning berangkat menuju selatan  Magadha, menjadi seorang shramana.


PENCERAHAN DAN PEMBABARAN AJARAN


Siddharta mengunjungi dua guru utama meditasi yang sangat terkenal di saat itu, Alara-Kalama dan Uddaka- Ramaputra.  Meskipun berhasil mencapai keadaan tertinggi dari meditasi tanpa alam-bentuk, namun tetap tidak memberinya rasa tenang dari kegelisahan. Sepanjang dapat mempertahankan  konsentrasi, tidak ada hal apapun yang dapat mengganggunya. Namun begitu gagal berkonsentrasi, diri-Nya kembali merasa khawatir dan menderita.  Dari sudut pandang ini maka pembebasan sejati dari ikatan ilusi dan penderitaan hanya dapat dicapai melalui keadaan ketenangan absolute ;kematian. Menemukan meditasi semacam ini tidak memenuhi harapan, Siddharta pergi menemui Uddaka-Ramaputra.  Namun kembali diri-Nya tidak menemuikan jalan keluar dalam mengatasi problema manusia walaupun ia telah mencapai keadan tertinggi dalam meditasi; pikiran eksis diantara ada dan tiada.

Kecewa dengan meditasi,Siddharta memutuskan untuk menjalankan kehidupan asketik.  Berdiri dibawah terik sinar matahari India yang sangat ekstrim adalah salah satu metodenya.  Memandangi matahari hingga membutakan mata. Ada juga cara berdiri dengan satu kaki serta satu tangan diatas kepala  untuk waktu yang lama. Lainnya, hanya makan satu butir nasi satu hari atau satu minggu. Bahkan ada yang menjalani puasa tidak memakan apapun selama satu hingga tiga bulan. Alasan untuk menjalankan pertapaan ini berkaitan dengan konsep hubungan antara jasmani dan rohani. Pertapa asketis percaya bahwa penderitaan manusia disebabkan oleh ikatan antara rohani dengan daging.  Selama ikatan ini tetap berlangsung maka rohani tak dapat terbebaskan. Penderitaan hanya dapat dihilangkan dengan melepas rohani dari ikatannya dengan daging dan benda-benda material.  Tujuan asketik adalah melemahkan kekuatan jasmani atas rohani. Namun sejak rohani tak dapat benar-benar bebas secara absolut selama terdapat jasmani, maka kematian dan perusakan tubuh menjadi kesimpulan akhir.


Siddharta menjalani kehidupan asketik semacam ini bahkan dengan metode yang jauh lebih ekstrim hingga ambang batas kehidupan. Kehidupan asketik yang dijalani-Nya  selama enam tahun,   membuatnya menjadi sangat lemah dan yang terlihat hanya tinggal kulit dan tulang belulang.  Ketika ia menyadari bahwa enam tahun penderitaan-Nya telah gagal menghasilkan apa yang diinginkan selain perusakan tubuh,  Siddharta memutuskan untuk melepaskan kehidupan asketik.  Ia lalu bersusah payah menuju tepian sungai untuk mandi dan meminum susu dari beras  yang diberikan oleh Sujata, gadis desa  setempat. Kesehatannya berangsur-angsur pulih. Kelima teman pertapa-Nya menganggap Siddharta telah gagal mencapai pencerahan karena telah mandi dan meminum susu beras pemberian Sujata, lalu pergi menuju Migadaya, Taman Rusa di Varanasi.

 Siddharta telah membuktikan bahwa praktik meditasi maupun pertapaan asketik  tidak dapat membawa  seseorang dapat mencapai  pencerahan.  Manusia membutuhkan kebebasan dari penderitaan dan kesedihan di dalam kehidupan saat ini, di dunia ini. Meskipun keadaan ideal munkin tersedia setelah kehidupan ini, tetap tidak member I solusi atas penderitaan dan kegelisahan yang dialami saat kehidupan ini. Setelah kekuatan fisik-Nya pulih, ia duduk dibawah pohon assattha tidak jauh dari kota Gaya dan membuat prasetya untuk tidak bangkit sebelum  mencapai pencerahan, meskipun itu harus berarti mati, . Pada saat-saat pertama pencerahan, (sekitar pukul 18.00-22.00) beliau mencapai keadaan dimana dapat melihat kehidupan lampaunya. Di pertengahan  (sekitar pukul 22.00-02.00) ia dapat melihat kehidupan dimasa mendatang. Pada saat final (pukul 02.00-04.00) diri-Nya lepas dari seluruh ikatan dan mencapai pencerahan tanpa ilusi. Beliau menjadi seorang Buddha.  Dan sejak saat itu beliau disebut Shakyamuni, “arif bijaksana dari suku bangsa Shakya”. 

Shakyamuni lalu mengunjungi kelima teman-teman pertapa di Taman Rusa, Varanasi (Benares), yang juga terkenal dengan sebutan Rishi-patana,  “tempat berkumpulnya para pertapa.”  Pembabaran ajaran pertama ini disebut  Dhammacakkappavattana Sutta (Ceramah Pemutaran Roda Dharma) yang menunjukkan jalan langsung menuju kebahagiaan sejati, yakni Empat Kebenaran Mulia: (1) Kebenaran Tentang Dukkha, (2) Kebenaran tentang Asal Dukkha, (3) Kebenaran Tentang Akhir Dukkha—Nirvana, (4) Kebenaran Tentang Jalan Menuju Akhir Dukkha, yaitu: Jalan Mulia Berfaktor Delapan.  Jalan Mulia Berfaktor Delapan  adalah jalan yang berisi segala sesuatu yang diperlukan untuk kehidupan mulia, kejernihan pikiran dan pencapaian kebijaksanaan, yang menghindari ekstrim pemanjaan diri mupun penyiksaan diri.  Kedelapan faktor Jalan Mulia ini dapat dibagi dalam tiga aspek sbb:  Disiplin Moral (Sila): (1) Perkataan Benar, (2) Perbuatan Benar, (3) Penghidupan Benar; Pengembangan Bathin (Samadhi): (4) Pengupayaan Benar, (5) Penyadaran Benar, (6) Pemusatan Benar; Kebijaksanaan (Prajna): (7) Pandangan Benar, (8) Perniatan Benar. 

Shakyamuni  berkeliling mengunjungi hampir seluruh India untuk membabarkan ajaran-ajaran selama hampir lima puluh tahun. Ajaran-ajaran-Nya di kompilasi—yang  terkenal dengan sebutan delapan puluh empat ribu ajaran—dan diwariskan hingga kini. Shakyamuni melihat bahwa hawa nafsu dan keterikatan-keterikatan telah membutakan umat manusia dari Hukum Kehidupan yang sesungguhnya bersemayam di dalam diri setiap insan. 
Nafsu-nafsu dan keterikatan ini secara khususnya termanifestasikan dalam pandangan yang menganggap diri sebagai sesuatu yang absolut, yang membuat mereka memandang dunia dan masyarakat secara egosentris. Disamping itu, beliau menegaskan bahwa segala fenomena eksis secara temporer dalam perubahan yang konstan. Sehingga pandangan yang mengagungkan materi menjadi suatu kesia-siaan. Kisah-kisah dibawah ini menceritakan bagaimana Shakyamuni  “membuka mata” umat manusia yang tadinya terikat oleh hukum dunia, menuju Hukum Kehidupan Sejati.

KISAH  TENTANG “PEMBAJAK LADANG”

Sekitar sepuluh tahun setelah pencerahan di Bodhgaya, Shakyamuni sedang berada di sebuah tempat bernama Gunung Selatan di kerajaan Magadha. Saat itu, Shakyamuni belum begitu dikenal di daerah tersebut. Seorang petani  Brahmana bernama Bharadvaja, yang tinggal dan menggarap ladang bersama para pekerjanya sedang mempersiapkan ladangnya dengan lima ratus luku. Satu pagi, setelah bangun, berpakaian dan mengambil mangkuk, Shakyamuni datang ke ladang Bharadvaja, yang sedang membagikan makanan kepada para pekerjanya. Dengan mangkuk ditangan, Shakyamuni mendekatinya. Merasa terganggu dengan pendeta yang meminta-minta, Bharadvaja menukas, “Oh, Shramana, aku membajak lading-ladang ku, menyemai  benih, dan hidup dari hasil panen ku. Daripada menyenangkan diri mu sendiri dan meminta-minta makanan, kamu juga seharusnya membajak, menanam, dan makan dari apa yang kamu peroleh dari keringat atas kerjamu sendiri.”
Meskipun perilaku semacam ini umum di dalam kehidupan sehari-hari, namun mengejutkan bahwa kata-kata semacam ini keluar dari seorang Brahmana, yang merupakan  anggota dari kasta tertinggi pemimpin spiritual. Hal ini memperlihatkan bahwa Brahmana ini, sebagaimana yang lainnya saat itu, menekankan materi dan ekonomi diatas segalanya. Dengan harapan dapat memperbaiki perilaku salah tersebut, Shakyamuni berujar, “Brahmana, aku pun hidup dengan membajak ladang dan menanam benih.” Karena ia tidak paham dengan kata-kata ini, Bharadvaja berkata, “Tetapi, Shramana, aku tidak melihat peralatan tani mu, kuk, luku,  mata bajak,  galah, atau lembu jantan.” Disamping itu, anda mengatakan bahwa anda hidup dari membajak ladang dan menanam benih-benih. Apa yang anda maksudkan?”

Lalu Shakyamuni menjawab dengan syair, “ Keyakinan adalah benih ku. Pengupayaan benar adalah hujannya. Kebijaksanaan adalah luku ku; kesadaran adalah bajak ku; pikiran adalah kuk ku; pemikiran benar adalah mata bajak dan galah ku. Aku melindungi tubuh ku dan ucapan dari tindakan buruk. Aku membatasi jumlah makanan dan pakaian sesuai kebutuhan.  Aku menggunakan kebenaran untuk mencabuti rumput-rumput ilusi, dan kelembutan sebagai pembebasan. Pengembangan spiritual  adalah binatang beban ku, yang kutunggangi menuju keteduhan nirvana, dimana  aku akan  memiliki hal-hal yang tidak perlu disedihkan. Pembajakan mana yang pasti tidak dapat dielakkan menuju kepada suatu panen keabadian dan pembebasan dari segala penderitaan.”

Mendengar hal tersebut, sang Brahmana akhirnya memahami arti dari pembajakan dan pembenihan Shakyamuni. lalu mengisi mangkuk tembaga besar dengan susu dan nasi , mempersembahkannya kepada Shakyamuni dan berkata, “Gotama, makanlah ini, yang mana anda sebenarnya pembajak ladang yang sesungguhnya.” Di masa India kuno, orang dapat hidup dengan berdiri di depan pintu rumah-rumah untuk membacakan kalimat-kalimat dari tulisan suci. Bharadvaja memberikan Shakyamuni susu dan nasi dalam sebuah asumsi keliru bahwa ia membaca bait-bait syair untuk suatu profesi yang menghidupi. 
 Tetapi Shakyamuni menolak dan berujar, “Aku tidak memakan makanan yang dipersembahkan sebagai kompensasi dari pembacaan bait-bait. Yang mana hal tersebut bukanlah Hukum dari orang yang memahami sifat sesungguhnya dari segala sesuatu secara benar.  Aku menolak makanan yang diberikan sebagai sebuah pertukaran. Makanan yang disediakan sebagai persembahan melalui pelaksanaan yang tulus adalah makanan sesungguhnya Buddha dari Hukum.  Buddha sejati yang telah memiliki seluruh kebajikan, yang telah menghancurkan seluruh ilusi dan telah memasuki dunia keheningan, selayaknya diberi makanan yang berbeda dengan yang diperuntukan bagi pembacaan –pembacaan. Buddha memberikan ladang terunggul dari keberuntungan kepada siapapun yang memberikan persembahan tanpa  pamrih.”    

PERTUKARAN PANDANGAN (COLLOQUY)

Peternak Dhaniya , keluarganya, dan para asistennya hidup dalam keamanan perekonomian, hidup bahagia di tepian sungai Mahi, dimana mereka menggembalakan ternaknya.  Rumahnya beratapkan genting yang kuat, tanpa khawatir bocor di musim hujan.  Dengan tiadanya pengganggu yang dapat menyulitkan kehidupan mereka, suasana damai menyelimuti penggembalaan ternak dan menghasilkan susu terbaik. Anak sapnyai sehat dan tumbuh dengan baik. Dhaniya hidup harmonis dengan istrinya yang penurut, cantik dan setia. Anak-anaknya kuat dan sehat. Keadaan rumah tangga, termasuk orang-orang yang bekerja dengannya , menikmati hidup ideal dan penuh kebahagiaan,hingga suatu saat Shakyamuni datang untuk meminta makanan , menanyakan keadaan Dhaniya dan membabarkan Dharma.

Ketika Dhaniya mengatakan bahwa rumahnya  beratapkan genting yang baik dan api yang menghangatkan dinyalakan, Shakyamuni menjaawab, “Rumahku tak memiliki atap, dan api ilusi telah dipadamkan.”  Ketika Dhaiya mengatakan bahwa ia memiliki anak-anak sapi, susu sapi, sapi betina, sapi hamil dan  sapi jantan sebagai pimpinan ternak, Shakyamuni membalas, “ Aku tidak memiliki harta seperti  anak sapi; aku tidak memiliki ilusi yang menyilaukan seputih air susu sapi; Aku tidak memiliki akumulasi karma seperrti anak sapi yang masih dalam kandungan;  Aku tak memiliki nafsu seperti sapi betina;  dan aku tidak memiliki pekerjaan seperti sapi jantan yang menjadi pimpinan ternak.” Dhaniya lalu mengatakan bahwa dirinya memiliki tiang pancang yang kuat dan tali tambang baru yang ditarik agar ternak-ternak tidak berlarian. Untuk hal ini, Shakyamuni menukas, “Aku telah memotong segala ikatan ilusi seperti sapi jantan;  menghancurkan segala nafsu seperti gajah dan tidak akan masuk ke dalam rahim kembali.”

Setelah pertukaraan pekerti semacam ini, Dhaniya dan istrinya memutuskan untuk melepaskan keterikatan pada duniawi dan memasuki kehidupan keagamaan. Pada saat itu, Mara, sang dewi iblis muncul dan berujar, “Orang yang memiliki anak akan dibahagiakan oleh mereka. Orang yang memiliki ternak akan dibahagiakan oleh mereka. Cinta semacam ini adalah kebahagiaan tertinggi yang didambakan manusia. Tanpanya, tiada kebahagiaan.”  Untuk menjaga tekad Dhaniya dalam melepaskan kehidupan duniawi, Shakyamuni berkata, “Orang yang memiliki anak akan mengalami kesedihan dalam hidup. Orang yang memiliki ternak akan mengalami kesedihan dalam hidup. Cinta semacam ini adalah kesedihan tertinggi yang dimiliki manusia. Tanpanya, tiada kesedihan.”


KISAH TENTANG PARA BANGSAWAN MUDA


 Dalam perjalanan  dari Varanasi (Benares) menuju Uruvelva  di Magadha, Shakyamuni memasuki hutan yang teduh dan duduk bermeditasi. Saat itu, tiga puluh bangsawan muda dengan para istrinya sedang bercengkerama diantara mereka di hutan tersebut. Salah seorang diantaranya masih lajang dan seorang wanita tuna susila telah didapatkan untuknya. Ketika semuanya sedang berasyik masyuk, wts itu mencuri perhiasan emas, perak, permata mereka dan kabur melarikan diri. Ketika mereka menyadari hal tersebut, mereka bergegas mencarinya. Melihat Shakyamuni sedang duduk bersila di bawah pohon, mereka menanyakan kemungkinan beliau melihatnya. Ia menjawab dengan bertanya mengapa mereka mencarinya. Setelah mendengar penjelasan tersebut, Shakyamunni berujar, “ Mana yang lebih penting, mencari wanita itu atau mencari dirimu sendiri?”.. Mereka menjawab bahwa mencari diri sendiri adalah jauh lebih penting. Lalu Shakyamuni berkata, “ Duduklah, akan Ku ajarkan Hukum (Dharma) untuk menemukan dirimu.” Mereka mendengarkan pembabaran Dharma langsung dari Sang Buddha dan sungguh berbahagia. Mereka memohon untuk dapat  bergabung melepas kehidupan duniawi dan akhirnya diterima sebagai anggota Ordo Buddhis saat itu.

Tiga kisah, “pembajak ladang” yang terdapat di dalam Sutra Samyuktagama, kisah tentang pertukaran pandangan (colloquy) antara Shakyamuni dengan Dhaniya, serta kisah para bangsawan muda adalah beberapa contoh yang mengena tentang berbagai macam perihal perumpamaan-perumpamaan yang digunakan Shakyamuni untuk membimbing umat manusia melepaskan segala keterikatannya.  Buddha menginginkan umat manusia membuang belenggu tujuan hidup yang tak bernilai. Ia mencoba menyadarkan umat manusia bahwa penderitaan muncul karena keterbelengguan pada ikatan-ikatan di luar diri kita. Dengan tidak menyadari sifat ketidak-kekalan benda-benda itu semua, manusia cenderung dengan mudah kehilangan dirinya dalam pusaran keaneka ragaman hal-hal  disekitar mereka. Mereka membayangkan bahwa benda-benda tersebut akan membawa kepuasan. Apabila sesuatu yang diingini akhirnya menjadi miliknya, mereka ingin memegang untuk selama-lamanya. Padahal, segala sesuatu di dunia ini hanyalah bersifat sementara dan tidak kekal.  Segera dan secepat mereka kehilangan, kekecewaan justru timbul lebih menyakitkan.
 
Kekayaan, reputasi, kekuasaan politik-ekonomi, tidak dapat membawa kepuasan langgeng dan seringkali terbukti justru hanya menyebabkan lebih banyak ketidak bahagiaan seseorang dan lainnya.  Buddha mengajarkan bahwa tujuan-tujuan semacam ini semuanya adalah palsu dan karena tidak ada sesuatu apapun yang abadi di dunia ini, telah menyimpangkan kita dari tujuan sejati  kehidupan. Tujuan-tujuan yang membawa kita ke dalam perlombaan keserakahan yang berlebihan, dimana hanya seorang atau segelintir orang saja yang dapat memenangkannya.  Bahkan sekalipun telah diperoleh, biasanya tetap gagal untuk memuaskan.  Kondisi itu hanya bersifat merangsang nafsu yang lebih berkobar lagi.
“Membuang seluruh keterikatan” disini bukanlah berarti lalu kita menjalani hidup yang kaya dan penuh keberisian ini  tanpa ikatan sema sekali. Tidak ada yang salah dengan keterikatan kepada keluarga, pekerjaan, masyarakat, negara bahkan kehidupan itu sendiri. Ikatan-ikatan  itu bersifat membangun dan membawakan kegembiraan dan arah kepada kehidupan kita.  Buddha menekankan pembuangan seluruh keterikatan karena umat manusia pada masa kehidupan beliau saat itu lebih mudah terdorong oleh bisikan hatinya dan cenderung terhanyutkan oleh hawa nafsu. Dengan demikian, “membuang seluruh keterikatan” seharusnya diinterpretasikan sebagai “membedakan secara wajar”  atas hal-hal mana yang merupakan keterikatan yang wajar. Adalah sesuatu yang  mustahil untuk membuang keterikatan seseorang kepada hal-hal di dunia ini. Membuang seluruh keterikatan berarti penyangkalan atas kehidupan itu sendiri. Kita dapat bertahan hidup justru melalui berbagai keterikatan dan hawa nafsu.  Sudah barang tentu banyak ketidak bahagiaan telah diakibatkan oleh nafsu-nafsu yang tak terkendalikan, tetapi untuk membuang segala-galanya akan menjadi sebuah keterikatan pula. Pandangan yang menyatakan bahwa seluruh kewajiban dan ikatan materi, seluruh keterlibatan kita di dunia ini, saat ini, adalah salah, merupakan sesuatu yang berlebihan dan mustahil.
Kecakapan untuk membeda-bedakan menuntut setiap individu untuk menyumbangkan kearifan dan watak yang kuat untuk mengendalikan keterikatan. Dalam Sutra Enam Paramitha dinyatakan, “Jadilah guru dari hatimu, jangan jadikan hati sebagai gurumu.” Dengan demikian, pelaksanaan ajaran Buddha untuk “membuang segala keterikatan,” memungkinkan seseorang membentuk watak yang kuat  semacam itu, sehingga mampu mengenali dirinya yang sejati, menjadi guru dari hati. Membuat diri kita memperoleh kearifan untuk menentukan mana nafsu-nafsu yang berguna dan yang destruktif.

MASUK NIRVANA 

Shakyamuni wafat di usia delapan puluh tahun. Selain tubuhyang melemah, tidak dapat dipungkiri bahwa  diri-Nya mengalami kesedihan yang mendalam dengan meninggalnya Shariputra dan Maudgalyayana, dua orang murid terkemuka. Tahun-tahun terakhir-Nya  dihabiskan di Gridhrakuta, Rajagiha-Magadha.  Dalam perjalanan terakhir,beliau mengunjungi desa Pataliputra yang nantinya menjadi ibukota Magadha.  Beliau menyeberangi sungai Ganga dan tiba di Vaishali, ibukota suku bangsa Vrijji. Di tempat ini, Ambapali mempersembahkan hutan pohon mangga kepada Buddha. Sesudahnya beliau menuju Beluva, di pinggiran kota Vaisali untuk menghabiskan retreat musim hujan terakhir kalinya. Setelah sembuh dari sakit, Shakyamuni berjalan kembali dengan rombongan dan ketika tiba di desa Pava, Mala, beliau kembali jatuh sakit sesaat setelah menyantap makanan yang diberikan oleh Chunda, pandai besi desa setempat. Sejarah mencatat sakitnya disertai dengan pendarahan dan diare.  Meskipun demikian beliau tetap melanjutkan perjalanan dan tiba di Kushinagara. Di bawah pohon sala, Shakyamuni berbaring dengan topangan bagian tubuh sebelah kanan  dan kepala menghadap Utara, mengucapkan kata-kata terakhirnya dan meninggal dunia.

Di saat-saat terakhir hidup-Nya, di bawah pohon sala d Upavattana, di tepian Sungai Hiranyavati  beliau memberi  wejangan terakhir kepada Sangha (kumpulan Bhikksu) dan berujar, “ Kalian tidak boleh berpikir bahwa kata-kata gurumu telah tiada atau kalian ditinggalkan tanpa seorang guru. Sila dan ajaran yang telah kubabarkan haruslah menjadi gurumu.”  Kata kata akhir lainnya adalah: “Oleh karenanya, kalian haruslah menjadi pelita bagi dirimu sendiri. Jadikan dirimu sebagai perlindungan.  Jangan mencari perlindungan diluar dirimu sendiri. Peganglah Dharma sebagai sebuah pelita dan jangan mencari perlindungan kepada apapun selain dirimu sendiri. ”  Peninggalan Shakyamuni diterima oleh suku bangsa Mallas dari Kushinagara dan di kremasi tujuh hari kemudian. Abunya dibagi menjadi delapan bagian, dan diberikan kepada Ajatashatru, raja Magadha, kepada kaum Licchavis dari suku bangsa Vaishali, suku bangsa Shakya dari Kapilavastu dan lainnya. Stupa-stupa di bangun untuk menyemayamkan relik-relik-Nya (salira). Stupa-stupa juga dibangun untuk menyemayamkan kendaran untuk upacara kremasi , termauk abu dari api. Sepuluh stupa dibangun di seluruh bagian India.


SELAMAT HARI RAYA WAISAK.


Tangerang, Mei 2011.

Catatan : Tulisan ini pernah dimuat di Vivanews  (Kanal U-Report), 17 Mei 2011.